Propinsi Jambi terkenal dengan kultur tepo seliro, kesetiawanan sosial, gotong royong dan musyawarah mufakat, dengan seloko hidup bersandikan syara’ syara’ bersandikan kitabullah. Jika terdapat perbedaan pendapat maka mereka yang berasal dari “kasta lebih tinggi” tadi (alim ulama, guru, pemerintah) agar maju kedepan dan mengarahkan apa yang harus dikerjakan oleh “kasta rakyat biasa,”
Akan tetapi tidak sedikit komunikasi dua arah antara pemerintah dengan masyarakat kasta biasa hanya dijadikan sebagai lips service politik semata yang tidak memiliki nilai jual untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Artinya rakyat sekedar jadi objek tujuan politik dan kekuasaan sesaat yang sangat merugikan. Sedangkan pemerintah mengambil keuntungan di atas ketidakpahaman tujuan politik terselubung dengan mereka. Itulah kegagalan dialog yang kerap terjadi di masyarakat kita.
Intinya, konflik ini diterjemahkan sebagai “bahasa tuntutan” masyarakat dan keinginan akan respons pemerintah. Pemerintah Kabupaten Sarolangun dan Juga Pemerintah Propinsi Jambi harus lebih banyak mendengarkan keinginan warga, dan segera meresponnya. Tuntutan mereka adalah kesejahteraan ekonomi. PETI mungkin masih dianggap sebagai ladang kemakmuran bagi warga Mengkadai. Jika ingin dilarang maka siapkan perangkatnya berupa lapangan pekerjaan baru yang lebih menjanjika Warga, lakukan pendekatan persuasif dan dialog.
Kalau tidak, kekecawaan itu pun terus berlanjut, maka tinggal menunggu waktu kapan akan disulut kembali. Seperti rumput kering dia akan terbakar lagi. Semoga ini tidak kembali tejadi! Wassalam
Penulis adalah Wakil Direktur Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization. Anggota PELANTA