Menerjemahkan Konflik Mengkadai

Senin 07-10-2013,00:00 WIB
Oleh:

Oleh : Suwardi

Operasi razia penambangan emas tanpa izin (PETI) di Dusun Mengkadai, Desa Tumenggung, Kecamatan Limun,  Kabupaten Sarolangun, tanggal 1 Oktober 2013 siang, sekitar jam 14.00 berujung bentrokan. Satu orang anggota Brimob bernama Briptu Marko Firnando Hutagalung tewas. Dua anggota Sabara Polda Jambi Briptu Arpenda dan Bribda Rizky Arpenda mengalami luka di bagian pelipis. Kabag Ops Polres Sarolangun,  Rikcy Harianta juga mengalami luka. Satu unit mobil patroli polisi jenis L-200 Strada juga hancur dibakar massa.

Dipihak warga, dua warga dilaporkan tewas dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Kedua warga yang tewas tersebut yakni  Acep (24), Sapni (21). Dimana Asep meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit umum. Sementara Sapni meninggal di Puskesmas Kecamatan Singkut.

 

Kelambanan Memahami Sumber Konflik Mengkadai

Menurut Prof. Esther Kuntjara, Ph.D. (Ketua Center for Chinese Indonesian Studies UK Petra) Penyebab Konflik disebabkan oleh politik dan ekonomi, social budaya dan cara berdakwa merendahkan pihak lain. Resolusi konflik adalah Berteman dengan orang yang berbeda latar belakang perlu dipupuk untuk mengembangkan jiwa dan semangat nasionalisme. Lingkungan Kampus dan kaum muda diharapkan menjadi pemecah kebuntuan konflik sehingga perbedaan bisa dijembatani dengan berkomunikasi secara rutin sehingga terjalin persahabatan. Teori johan Galtung bahwa Equality equity mutual respect sehingga bisa mencapai perdamaian Membangun perdamaian dalam keberagaman Paulus Sugeng Wijaya, Ph.D. (Pusat Studi & Pengembangan Perdamaian UK Duta Wacana).

Dalam konteks negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, demokrasi diyakini membawa kesejahteraan, kesetaraan, penghargaan terhadap perbedaan, serta keadilan yang merata. Substansialisme demokrasi inilah yang masih jauh panggang dari api. Demokrasi belum sepenuhnya berhasil meminimalisir konflik etnis, agama, suku, dan kelompok di negara ini. Demokrasi justru direduksi oleh kuasa elit, atas nama “suara rakyat” kelompok pemilik modal, empu media massa, justru mengapitalisasi kepentingannya dalam tedok demokrasi. Dengan berlindung dibawah payung demokrasi kekerasan negara terhadap rakyatnya justru semakin marak, premanisme semakin merajalela, kekerasan dimana-dimana, pelecehan hak asasi manusia semakin membabi buta, sementara itu negara berdiam diri. Inilah lubang hitam demokrasi: merajalela praktik-praktik yang justru mengancam kehidupan demokrasi itu sendiri.

Dalam kasus Mengkadai, yang melibatkan puluhan warga setempat dalam bentrok berdarah dengan aparat kepolisian. Juga merupakan konflik yang diawali dengan ketidakmampuan pemerintah daerah setempat dalam hal memenuhi kebutuhan primer dan kebutuhan ekonomi warga. Meski aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin tersebut illegal oleh Pemerintah. Namun, jika tidak disediakan lapangan pekerjaan oleh pemerintah yang dengan hasil seimbang dengan aktivitas warga Mengkadai hemat penulis, warga akan dengan segera bersedia meninggalkan aktivitas terlarang oleh pemerintah tersebut. Pertanyaannya, apakah pemerintah daerah telah mengganti usaha mereka dengan pelarangan PETI ?

Lambannya memahami, menangkap, serta menyelesaikan masalah di tingkat grassroot (masyarakat akar rumput) menjadi sumber utama konflik horisontal maupun vertikal. Termasuk di dalamnya konflik antara warga Mengkadai dan aparat kepolisian, merupakan implikasi dari lambannya Pemerintah Kabupaten Sarolangun dalam memahami kebutuhan dan tuntutan warga.

 

Pemkab Gagal Membangun Komunikasi?

Ada banyak pendekatan yang dilakukan oleh para ahli dalam memahami sumber konflik di masyarakat satu diantaranya adalah Pendekatan ekonomi-politik. Pendekatan ekonomi politik menggeser titik perhatian atas fenomena konflik dari sisi actor individual ke arah sturktur-struktur masyarakat yang memberikan insentif material. Kelangkaan dan kesulitan distribusi kemakmuran merupakan titik tekan pendekatan ini. Bagi pendekatan ini, selama ada kondisi dominasi dan eksploitasi dalam masyarakat, perdamaian tidak pernah akan muncul. Perbedaan distribusi pendapatan, ketimpangan horizontal, dan perbedaan akses atas kekuasaan dan sumber daya.

 Jika menilik dengan pendekatan tersebut di atas sangat jelas, Jika kasus Mengkadai merupakan kegagalan pemerintah Kabupaten Sarolangun dalam hal memahami kebutuhan masyarakat. Sudah barang tentu kebutuhan ekonomi masyarakat, kesejahteraan. Yang oleh masyarakat Mengkadai  dan sekitarnya PETI merupakan pekerjaan halal untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan kemakmuran.

Sejurus bukti dapat dilihat. Apakah perda pelarangan PETI berhasil dan efektif dilaksanakan di Kabupaten Sarolengun ketika Pemkab sendiri tidak menyediakan lahan pekerjaan dan usaha garapan yang memiliki nilai minimal seimbang dengan usaha Penduduk terhadap PETI ? ketika kegagalan itu terwujud berarti Pemkab Sarolangun gagal membangun komunikasi dua arah dengan masyarakat dan tokoh adat dan sebagainya. Kegagalan tersebut bisa jadi karena tidak adanya jaminan keberlangsungan kondisi ekonomi warga pasca pemberhentian PETI.

Oleh karena itu penulis melihat Pemerintah Kabupaten Sarolangun sudah kehilangan arah dalam membangun struktur dan kultur bangsa Indonesia yang selama ini melekat erat. Struktur bangsa kita memiliki sistem kekerabatan dengan “kasta positif” dalam masyarakat. Ada kasta alim ulama (tokoh-tokoh agama), ada kasta pemerintah, kelas rakyat biasa. kasta positif ini menciptakan struktur komando yang jelas. Ada sosok yang menasehati dan ada yang mendengarkan nasehat itu.

Tags :
Kategori :

Terkait