JAKARTA – Banyak yang menjadi perbincangan dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka karya Hanung Bramantyo. Salah satunya adalah karakter Sutan Sjahrir yang diperankan pendatang baru, Tanta Ginting, 32. Aktingnya dinilai bagus.
Bagi Tanta, bermain dalam film itu merupakan pencapaian besar selama lima tahun terakhir. Yakni, mulai 2008 ketika dirinya memutuskan untuk kembali ke Indonesia, meninggalkan keluarga di Amerika Serikat.
Rencana awal pulang ke Indonesia adalah menekuni musik. Di AS, lulusan Electrical Engineering De Vry University tersebut punya band bernama Fourwall. Pada 2007, band itu merilis debut album berjudul Lifetime.
’’Waktu itu udah lumayan. Kami ada tur juga di kelab-kelab besar di sana,’’ ungkapnya ketika berkunjung ke redaksi Jawa Pos Jakarta kemarin (2/1).
Mereka juga sering didapuk menjadi band pembuka ketika ada band Indonesia manggung di Amrik. Misalnya, Slank dan Gigi. ’’Band kami kan crowd-nya bule. Mereka pengin nembus ke situ. Makanya, kami yang jadi band pembuka,’’ lanjutnya.
Ketika ngobrol dengan Gigi dan Slank, mereka menyarankan kenapa tidak bermusik saja di Indonesia. Obrolan tersebut membuat keinginan Tanta untuk pulang ke Indonesia semakin kuat. Dia ingin pulang ke tanah kelahirannya dan menekuni seni. Sejak kecil Tanta memang dekat dengan bidang itu. Dia belajar musik sejak kecil. Tapi, ketika ingin melanjutkan kuliah di bidang seni, orang tua tidak mendukung.
Bungsu tiga bersaudara itu lahir di Jakarta. Pada 1990-1991, ibu Tanta mendapat green card lottery. ’’Karena waktu itu usia kami, anak-anaknya, di bawah 18 tahun, otomatis dapat juga,’’ ceritanya.
Akhirnya, kakak sulung Tanta dikirim ke AS untuk bersekolah. Pada 1994, dirinya dan kakak kedua juga dikirim. ’’Saya sebetulnya tidak mau pindah. Waktu itu masih SMP. Lagi senang-senangnya main dan banyak teman,’’ lanjutnya.
Tapi, akhirnya Tanta pindah juga ke AS bersama kakak kedua serta ibunya. Beberapa tahun kemudian, ayahnya menyusul pindah. Tanta pun melanjutkan sekolah hingga kuliah dan bekerja di AS. Dia memilih jurusan teknik elektro. ’’Karena nggak boleh sekolah seni, saya mikirnya masuk elektro dengan harapan setelah lulus bisa bekerja di perusahaan musik,’’ ungkapnya.
Pemikiran itu didapat Tanta karena musik mulai lebih banyak berkaitan dengan elektro. Tapi, ternyata yang dia pelajari sama sekali berbeda. Tanta lalu memutuskan untuk bekerja dengan ilmu yang dipelajari.
Dia menjadi electrical engineering di Northrop Grumman Space Technology, perusahaan mikro-elektronik yang dimiliki pemerintah AS. ’’Kerjanya di lab, bikin elektronik pakai mikroskop. Waktu itu produknya lebih ke teknologi luar angkasa,’’ jelasnya.
Di sana, Tanta bertahan 1,5 tahun sebelum akhirnya pindah ke perusahaan Jepang Fanuc America. Alasannya, dia menginginkan pekerjaan yang bisa jalan-jalan. Di perusahaan yang memproduksi robotik dan mesin itu, Tanta harus melakukan perjalanan ke banyak tempat. ’’Cuma buat mindah binary code untuk menghidupkan mesin itu. Sebab, yang bisa hanya kami,’’ urainya.
Pekerjaan Tanta di situ sangat mapan. ’’Gajinya gede banget. Dikasih mobil. Nikmat lah,’’ ujarnya.
Tapi, masih ada yang terasa kurang bagi Tanta setiap bangun pagi. Dia merasa bukan uang yang dicari. Dia ingin mengikuti kata hati untuk menekuni seni. Karena itu, pada 2008, dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia, meski sempat ditentang orang tua.
Di Jakarta, Tanta kembali tinggal di rumah yang dulu ditinggalkan. Namun, ternyata memulai karir tidak semudah yang dia bayangkan. Berjuang dengan teman bandnya tidak berhasil juga. Sementara itu, uang simpanannya makin lama makin tipis. ’’Banyak yang bilang saya ini gila. Sudah mapan di Amerika, ngapain pulang ke sini? Nggak ada kerjaan lagi,’’ ceritanya.