\"Kenapa portal, karena media literasi anak muda sekarang untuk internet sangat tinggi. Mereka bangun tidur saja langsung akses internet dengan handphone,\" imbuh Qowi.
Dari portal berkembang ke social networking yang mereka miliki. Misalnya, Facebook, Twitter, dan Youtube. Website Ayo Vote juga menampilkan berita seperti news portal pada umumnya, plus info grafis untuk memudahkan pemahaman. Qowi mencontohkan profil lembaga DPR dan DPD.
\"Kami buat semua media itu lebih menarik dan mudah dicerna walaupun sebenarnya sudah ada di pelajaran IPS,\" ujar Qowi lantas tersenyum.
Ayo Vote juga memiliki blog video yang membicarakan isu hangat di media dan melihatnya dari perspektif anak muda. Ada pula ciri Ayo Vote lewat program Are you smarter than Pingkan\" yang mengadopsi sebuah program TV di Amerika Serikat, Are you smarter than a 5th grader\" Di situs itu wawasan anak-anak muda diuji dan dibandingkan dengan Pingkan.
\"Makanya, mau tidak mau Pingkan harus belajar,\" ujar Qowi disambut tawa Pingkan yang duduk di sampingnya.
Pemuda 26 tahun itu mengakui, metode menjadi bagian penting agar pesan bisa sampai ke memori anak muda. Karena itu, selain lewat media sosial, Ayo Vote menggandeng beberapa ambasador (duta) dari figur yang dekat dengan anak muda, seperti Stand Up Comedian. Pesepak bola Bambang Pamungkas dan artis Igor Saykoji juga contoh figur publik yang menjadi dutanya.
Pingkan menceritakan, idenya bersama Qowi membuat gerakan Ayo Vote muncul saat pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2012. Ketika itu mereka melihat potensi besar anak muda yang kurang optimal dimanfaatkan. Masih ada kesenjangan edukasi politik di kalangan anak muda Indonesia. Itulah sebabnya, Pingkan tergerak untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Dia juga terinspirasi gerakan Rock the Vote di Amerika. Kebetulan Pingkan sempat tinggal enam tahun di Negeri Paman Sam. \"Di sana juga menggunakan ambasador selebriti untuk mengajak anak muda ikut pemilu. Approach-nya, kalau ikut pemilu, lu keren,\" kata Pingkan yang memiliki basis pendidikan Bachelor of Science di Business Administration dengan minor di Communication and the Entertainment dan master di Communication Management, University of Southern California, Amerika.
Kampanye di Amerika, lanjut dia, memang berbeda dengan di Indonesia. Kehidupan demokrasi di sana jauh lebih terbangun. Permasalahan yang dihadapi pun berbeda. Dengan 12 parpol peserta Pemilu 2014, Pingkan-Qowi punya tantangan untuk membedakan satu sama lain.
\"Saya menilai ada konsep bagus (dari AS) yang bisa dibawa ke sini. Tentu harus disesuaikan dengan kultur di sini,\" ujarnya. Ayo Vote mulai bergerak sekitar Juli 2013.
Pingkan dan Qowi bersepakat bahwa kendala yang dihadapi Ayo Vote terutama terkait minimnya tenaga sukarelawan yang mau terlibat. Tim inti Ayo Vote hanya beranggota empat orang, termasuk Pingkan dan Qowi. Dua lainnya adalah Pangeran Siahaan dan Disna Harvens. Namun, berdasar social network yang mereka miliki, banyak yang tertarik menjadi sukarelawan. Misalnya, memasukkan data tentang caleg atau membantu saat Ayo Vote menggelar diskusi.
Mereka juga terkendala dana yang terbatas. Sebagai gerakan independen dan nonpartisan, Ayo Vote bergantung pada peran sponsor untuk menggelar kegiatannya. Misalnya, Dia-lo-gue Indonesia 2014 pada 15 Januari lalu. Mereka menggandeng Universitas Pelita Harapan guna menyukseskan kegiatan itu.
Pilihan Pingkan dan Qowi dengan gerakan Ayo Vote memang langkah tidak populer. Bahkan, tidak jarang ada pandangan minor tentang gerakan mereka. Tapi, semua itu tidak menyurutkan semangat anak-anak muda.
\"Sejauh ini lumayan berhasil. Setelah datang ke acara kami, mereka lalu bilang, ooo ternyata seru juga ya,\" kata perempuan yang pernah menjadi country representative untuk Warner Bros Pictures itu.
Respons parpol juga beragam. Ada partai yang welcome saat disodori undangan untuk menjadi narasumber. Tapi, ada juga yang terkesan berhati-hati untuk terlibat. Padahal, pemilih pemula berpotensi besar untuk memberikan suara. Mereka mengaku banyak urusan internal partai yang lebih penting untuk dibereskan.
Pingkan yang sehari-hari menjadi head of social media di sebuah perusahaan media itu mengungkapkan, resistensi juga kadang datang dari pergurun tinggi karena pihaknya meng-organize acara yang membicarakan politik praktis. Sampai-sampai Pingkan dan Qowi pernah dibuat deg-degan karena kegiatan yang sudah disiapkan rapi hampir dibatalkan pihak kampus yang mereka tempati untuk berkampanye. Penyebabnya, dekan di kampus itu menyatakan bahwa tidak boleh ada kegiatan politik praktis. Padahal, kala itu panitia tidak mengundang parpol sebagai peserta.