Geram dengan Citra Neraka dan Sarang Genderuwo

Kamis 03-04-2014,00:00 WIB

 Ella menceritakan, dahulu gedung yang dibangun pada 1904\"1907 tersebut adalah kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), pengelola kereta api di zaman Hindia Belanda. Perusahaan itulah yang lantas diambil alih pemerintah Indonesia pada zaman kemerdekaan yang kemudian menjadi cikal bakal PT KAI.

 \"Waktu itu Pak Jonan (Dirut KAI) bilang, Lawang Sewu adalah cikal bakal KAI. Kalau cikal bakalnya saja identik dengan genderuwo, bagaimana KAI mau maju. Karena itu, Lawang Sewu yang dulu cakepnya luar biasa, kita poles agar kembali memesona,\" katanya.

 Kini, di antara 680 stasiun KA di Indonesia yang tersebar di Jawa dan Sumatera, hampir semua sudah tersentuh program revitalisasi. Hanya, baru sekitar 50 persen yang perbaikannya cukup besar. Lainnya baru diperbaiki secara minor seperti pengecatan dan pembenahan fasilitas-fasilitas yang rusak.

 \"Target kami dua tahun lagi semua fisik stasiun di Indonesia harus sudah bagus,\" ucapnya.

 Dalam proses revitalisasi itulah, Ella makin terkagum-kagum dan takjub dengan mahakarya stasiun-stasiun tersebut. Apa saja itu\" Misalnya, di Stasiun Tanjung Priok Jakarta Ella dan tim menemukan konstruksi baja melengkung yang menopang atap stasiun. Konstruksi baja melengkung tersebut persis dengan konstruksi Menara Eiffel di Paris, Prancis. Stasiun itu dibangun arsitek Belanda bernama C.W. Koch yang memang termasyhur dalam konstruksi baja.

 Konstruksi itu dipilih karena Tanjung Priok berada di pinggir pantai sehingga bangunan didesain dengan struktur yang kuat menahan angin, tahan gempa, bahkan tsunami karena Indonesia berada di wilayah rawan gempa. Selain itu, stasiun tersebut dilengkapi basement atau ruang bawah tanah yang dulu difungsikan sebagai tempat perlindungan jika sewaktu-waktu terjadi pertempuran dan pengeboman.

 Sementara itu, di bangunan Lawang Sewu yang dirancang Prof Jacob F. Klinkhamer (T.H. Delft) dan B.J. Ouendag, dua arsitek yang berdomisili di Amsterdam, Belanda, ada lorong bawah tanah yang terhubung dengan sebuah sungai kecil di pinggirnya. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, lorong bawah tanah itu digunakan untuk pembantaian pada masa kolonial Jepang.

 Tapi, Ella mengklarifikasinya. \"Pada pertempuran dahsyat lima hari di Semarang (14\"19 Oktober 1945), Lawang Sewu dikuasai AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) sehingga tentara Jepang tidak bisa masuk. Jadi, tidak benar ada pembantaian di situ. Lorong bawah tanah tersebut justru merupakan bagian mahakarya arsitektur di zaman itu,\" paparnya.

 Menurut Ella, di Lawang Sewu itulah ditemukan sistem pendingin ruangan yang fungsinya mirip air conditioner (AC) zaman sekarang. Cara kerjanya, lorong bawah tanah tersebut mengalirkan air sungai ke fondasi bangunan untuk mendinginkan dinding. Air yang meresap ke dinding itu lantas tertiup angin dari pintu-pintu atau jendela yang terbuka sehingga uap airnya terbawa angin dan menghasilkan efek sejuk bagai AC. Karena itulah, dinding Lawang Sewu yang lembap harus dicat dengan kapur, bukan dengan cat kimia karena pasti akan mengelupas.

 Bagaimana Ella mengetahui semua itu\" \"Semua detail tentang perencanaan bangunan-bangunan kuno di Indonesia ada di perpustakaan-perpustakaan Belanda. Kami bekerja sama dengan pemerintah Belanda untuk menelusurinya. Sejarah perkeretaapian Indonesia yang dimulai pada 1860-an memang sangat penting bagi ilmuwan dunia karena termasuk yang pertama di Asia,\" ujarnya.

 Berdasar berbagai penelusuran itu pula, Ella menemukan jawaban mengapa ada tiga stasiun di Indonesia yang ruangannya dahulu didesain megah dan mewah. Yakni, Stasiun Jebres Solo, Stasiun Tugu Jogjakarta, dan Stasiun Bogor. Dia mengungkapkan, Stasiun Jebres dahulu dibangun untuk mengakomodasi para petinggi Keraton Kasunanan Surakarta yang ingin memiliki stasiun eksklusif. Demikian pula dengan Stasiun Tugu Jogja yang banyak digunakan keluarga Keraton Kesultanan Jogja.

 \"Kalau Stasiun Bogor itu karena digunakan para pejabat Belanda yang tinggal di Istana Bogor (dulu kediaman gubernur jenderal Belanda),\" katanya.

 Selain itu, diketahui bahwa para arsitek stasiun kereta api zaman dahulu sudah membuat proyeksi pertumbuhan jumlah penumpang hingga 50\"100 tahun ke depan. Karena itulah, di samping kanan kiri stasiun selalu ada lahan kosong yang cukup lebar yang disiapkan untuk perluasan stasiun ketika jumlah penumpang semakin banyak. Sayang, banyak lahan kosong yang sudah berpindah tangan atau dikuasai pihak luar. Akibatnya, PT KAI kini selalu kesulitan ketika hendak melakukan perluasan stasiun.

 Tentu masih banyak temuan menarik seputar kereta api di Indonesia, termasuk berbagai teknologi bengkel kereta api zaman Belanda seperti turn table untuk memutar lokomotif. Juga, pemilihan jalur-jalur rel kereta api yang disesuaikan dengan konsep pengembangan kota-kota di zaman Hindia Belanda.

 Saat ini justru lembaga-lembaga asal Jerman dan Belanda yang getol mempelajarinya untuk melengkapi khazanah pengetahuan perkeretaapian dunia. \"Tim kami sedang mencoba menyusun  pusat dokumentasi sejarah kereta. Nanti temuan-temuan itu kami tuangkan di situ,\" urainya.

 Ella mengatakan, program revitalisasi stasiun merupakan bagian dari rencana besar untuk mengembalikan kebanggaan dan kebesaran industri kereta api di Indonesia. Menurut dia, pada 1952 Indonesia sempat sejajar dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa. Saat itu Presiden Soekarno berhasil mendatangkan generasi pertama kereta diesel dunia yang menggantikan teknologi kereta uap. Namun, sejak era 1960-an kereta api mengalami kemunduran tajam karena tidak dikelola dengan baik dan kalah oleh moda transportasi lain.

Tags :
Kategori :

Terkait