Deklarasi ini menegaskan bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara hak terhadap lingkungan yang baik dan sehat dan hak pembangunan, seperti hak untuk hidup dalam kondisi yang layak dan hak hidup dalam suatu lingkungan yang memiliki kualitas yang memungkinkan manusia hidup sejahtera dan bermartabat.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini, menjadi penopang bagi hak-hak dasar manusia lainnya.
HAL ini kemudian diturunkan didalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pemerintah lalai melindungi
Namun jangankan memberikan perlindungan lingkungan yang baik dan sehat, Pemerintah kemudian lalai memenuhi kewajiban untuk memastikan HAL. Kejadian yang berulang-ulang hampir setiap tahun membuat Pemerintah “seakan-akan” tidak berdaya dan “terkesan” begitu abai.
Kebakaran lahan yang di areal kebakaran lahan (titik api) yang terbanyak terjadi di wilayah izin perusahaan baik perkebunan maupun Hutan Tanaman Industri (HTI) membuat Pemerintah “tidak berkutik” berhadapan dengan korporate.
Padahal dengan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan, Pemerintah dapat memberikan punisment kepada korporate yang ternyata “lalai” menjaga areal konsensinya. Pemerintah dapat “menegakkan hukum” baik dengan mempersoalkan secara hukum dan menyeret korporate dimuka hukum juga meminta pertanggungjawaban korporate untuk membayar kerugian yang timbul dari kebakaran asap. Namun entah mengapa kemudian “Pemerintah” tidak berkutik dihadapan korporate.
Pemerintah lebih menampakkan kesan sebagai “tukang menyiramkan air” dengan menyiapkan berbagai alat pemadam api, menyiapkan masker, membuat edaran “melarang aktivitas warga keluar rumah”. Bahkan kemudian kesan ini menguap ketika persoalan asap kemudian “disiram” air ketika musim hujan tiba.
Sehingga tidak salah kemudian akibat asap tahun 2013, Walhi yang mempunyai posisi “legal standing” sebagai organisasi lingkungan hidup di Indonesia meminta pertanggungjawaban negara dalam perbuatan melawan hukum oleh negara (onrechtmaatigoverheidaad) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Presiden, Kapolri, Menhut, Men-LH, Gubernur Jambi dan Gubernur Riau dan 2 Kepala Daerah di Jambi dan 11 Kepala Daerah di Riau dijadikan tergugat.
Belum selesai pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, masalah asap tahun 2014 kemudian berulang. Pemerintah yang “disibukkan” dengan persoalan negara dan politik “ternyata” tidak mengurusi rakyatnya. Pemerintah “terjebak” dengan bencana rutin dan “seolah” membenarkan” anggapan Pemerintah yang belum mampu memenuhi HAL. Pemerintah kemudian gagal melaksanakan kewajiban untuk memberikan “hak lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Pemerintah kemudian “lebih” menampakkan wajah kesan “mati gaya”. Sebuah istilah “pengejekkan (eufisme)” gaya anak muda.