Oleh : Musri Nauli SH
Dalam kurun waktu akhir-akhir ini, disaat dunia politik kontemporer sibuk gonjang ganjing struktur kabinet dan siapa yang menduduki kursi Menteri Pemerintahan Jokowi-JK, rakyat di Riau, Jambi dan Sumsel harus bergelut dengan kenyataan hidup. Merasakan asap dari kebakaran lahan. Merasakan penderitaan yang terus berulang setiap tahun.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sumatera Selatan menyatakan jumlah titik api (hot spot) di wilayah provinsi yang memiliki 17 kabupaten dan kota itu beberapa hari terakhir jumlahnya mengalami peningkatan signifikan. Jumlah titik api yang sebelumnya terdeteksi 20–30 titik, kini jumlahnya meningkat bisa mencapai 200 titik lebih.
Sementara di Jambi sendiri terdapat 31 titik api. Diantaranya terdiri dari, Tebo 11 titik , Tanjab Barat 5 titik lalu Sarolangun 4 titik, kemudian Bungo 4 titik. Selain itu di Batanghari ditemukan 1 titik, di Muaro Jambi ada 1 titik dan di Tanjab Timur 1 titik serta di Kerinci ada 1 titik. Diperkirakan, titik hotspot ini akan terus bertambah karena saat ini sudah memasuki musim kemarau.
Di Riau mendeteksi 51 titik api. Jumlah itu tersebar di Kabupaten Kuansing sebanyak 6 titik, Pelalawan 20, Indragiri Hilir 3, Kampar 7, Bengkalis 3, Rokan Hilir 3 dan Siak 2.
Padahal belum “kering dari ingatan” kita, ketika Pemerintah Singapura mengirimkan surat protes kepada Pemerintah Indonesia terhadap “ekspor asap” tahun 2013. Pemerintah Singapura “kesal” karena Indonesia dianggap tidak mampu mengendalikan asap. Surat protes ini mengulang kejadian sebelumnya tahun 2004 dan 2007. Bahkan sejak tahun 2011, Pemerintah “disibukkan” berbagai klarifikasi mengenai asap.
Data Walhi pada kebakaran hutan dan lahan per 18 Juni 2013, titik api di Provinsi Riau mencapai 1174, di Jambi 37 titik api, dan Sumatra Selatan 20 titik api.
Melihat kejadian terjadinya kebakaran lahan yang berulang setiap tahun, maka timbul pertanyaan penting yang sering disuarakan berbagai kalangan. Dimana peran dan tanggung jawab negara didalam melindungi hak rakyat untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dalam Konstitusi Negara Kita, pada Amandemen ke-2 UUD 1945, pasal 28H ayat (1) menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatam”. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (the rights to healthful and deccen environemen) merupakan hak asasi.