JAKARTA-Berbagai tekanan ekonomi baik eksternal maupun internal telah menggerogoti cadangan devisa (cadev) Indonesia. Bank Indonesia (BI) mencatat penurunan cadev USD 60 juta atau sekitar Rp 732,720 miliar (kurs Rp 12.212 per USD). Yakni dari USD 111,224 miliar per Agustus 2014 menjadi USD 111,164 miliar pada September 2014.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, sebetulnya posisi cadev tersebut cenderung stabil. Namun, ada kondisi kenaikan kebutuhan devisa. Misalnya untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah. \"Selain itu ada intervensi valuta asing karena kami harus menstabilkan nilai tukar rupiah,\" ungkapnya kemarin (6/10).
Sebaliknya, beberapa faktor yang dapat mempertahankan cadev antara lain penerbitan sukuk global dan hasil ekspor migas pemerintah. Di samping itu kenaikan simpanan deposito valuta asing bank-bank di BI.
Menurut Tirta, posisi cadangan devisa per akhir September tersebut dapat membiayai 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Level devisa saat ini dinilai berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. \"Kami masih optimistis cadev tersebut positif untuk memperkuat ketahanan sektor eksternal, dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan,\" tuturnya.
Gejolak politik yang belakangan terjadi di tanah air dinilai cukup berperan signifikan menggerus nilai rupiah terhadap USD. Selain itu, pelemahan rupiah juga disebabkan rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) yang diperkirakan naik lebih awal dari rencana sebelumnya. Tak hanya di Indonesia, pelemahan mata uang juga terjadi di negara-negara lain.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Chatib Basri menegaskan, dampak gejolak politik terhadap pelemahan nilai tukar rupiah hanya bersifat sementara. \"Kombinasi eksternal dan kondisi politik menyebabkan pelemahan rupiah. Tapi ini shorterm dan relatif jangka pendek,\" tegasnya.
(gal/oki)