\"Alhamdulillah, sampai usia segini kemampuan terbang saya masih dibutuhkan, meski tidak untuk menjadi test pilot seperti waktu muda dulu,\" kata kapten pilot yang kini sudah memasuki usia 63 tahun itu.\"
Lepas dari IPTN, Sumarwoto pernah bergabung dengan sejumlah maskapai yang melayani penerbangan carter. Mulai Deraya Airlines hingga kini di Ekspress Airlines.
\"Yah, lumayan untuk tambahan-tambahan biaya kuliah anak,\" tuturnya sambil tersenyum.
Dia masih menyimpan harapan bahwa suatu hari nanti industri penerbangan tanah air bisa bangkit kembali. Syukur-syukur, N-250 bisa dihidupkan lagi. \"Pesawat ini diyakini teknologi dan kelayakannya masih akan bisa bersaing sampai 30 tahun nanti,\" katanya.
Dia menambahkan, saham perusahaan sebesar Fokker yang memproduksi produk sejenis dengan N-250 langsung jatuh ketika pesawat N-250 yang sudah menggunakan teknologi fly-by-wire itu keluar. Bahkan, tidak lama kemudian akhirnya tutup.
\"Jadi, mau tidak mau memang harus ada dukungan pemerintah karena dana yang diperlukan (untuk membangunan IPTN/PT DI) memang tidak sedikit,\" tandasnya.
Menurut dia, situasi sekarang ini sangat memprihatinkan. Orang-orang IPTN/PT DI berkualitas yang dulu menggawangi produksi N-250 kini telah menyebar ke mana-mana. Banyak yang akhirnya ditampung perusahaan-perusahaan penerbangan besar seperti Airbus atau Boeing.
\"Ini kan miris, anak-anak kita yang buat, tapi kita masih harus beli ketika mau menggunakannya,\" tandas Sumarwoto.
(*/c5/c10/ari)