BW Mundur, Kenegarawanan Budi Diuji

Selasa 27-01-2015,00:00 WIB

                Dalam UU No. 31 / 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga diatur hal tersebut dalam pasal 22. Bunyi dari pasal tersebut, Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, bisa dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun. Orang yang dimaksud juga bisa dikenakan denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.

                “Tidak hanya itu ada pasal lain yang mengatur, yakni pasal 35,” ujar Ade. Pasal tersebut menyatakan setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli. Kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.

                Mengenai pemanggilan paksa, Ade Irawan mengatakan hal itu juga telah diatur dalam KUHAP dan harusnya dipahami para perwira polisi tersebut. Dalam pasal itu dijelaskan jika orang yang dipanggil tidak datang, penyidik bisa memerintahkan petugas membawa orang bersangkutan.

                “Pada prinsipnya setiap warga negara mempunyai kewajiban untuk menjadi saksi, khususnya tindak pidana korupsi,” tegas Ade. Yang menjadi masalah selama ini dalam melakukan pemanggilan paksa, KPK meminta bantuan personel dari Brimob. “Kalau sekarang bagaimana ? Apalagi yang akan dipanggil paksa sekelas pati polisi,” ujar Ade.

                Ketidakhadiran para saksi itu memang sangat disayangkan. Pasalnya, kemarin BW sebagai seorang tersangka justru berinisiatif mendatangi Bareskrim Polri untuk mengecek apakah dia masih perlu diperiksa atau tidak. “Saya tadi sebelum ke KPK, mendatangi Bareskrim dulu untuk mengecek. Ternyata hari ini (kemarin) tidak ada agenda pemeriksaan saya,” jelas Bambang.

                Sementara itu, meskipun presiden menyeruhkan penghentian tindakan kriminalisasi, namun upaya memidanakan pimpinan KPK masih saja terjadi. Diam-diam ternyata Ketua KPK Abraham Samad dilaporan Direktur Eksekustif KPK Wacth M Yusuf Sahide. Dalam laporan polisi bernomor LP/75/I/2015/Bareskrim disebutkan Samad melanggar UU KPK karena melakukan pertemuan dengan Hasto Kristiyanto.

                Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Rikwanto menjelaskan, saksi yag diajukan adalam laporan tersebut adalah Hasto Kritiyanto, Plt Sekjen PDIP. Samad diduga melanggar pasal 36 dan 65 UU No. 30/2002 tentang KPK.

                Dikonfirmasi terkait laporan itu, M Yusuf Sahide menjelaskan pihaknya ingin membuktikan bahwa Samad telah melakukan aktivitas politik. Hal tersebut diluar kewenangannya sebagai pimpinan KPK. “Yang lebih utama soal pembicaraan mengenai kasus yang ditangani,” ujarnya.

            Dalam pembicaraan itu juga terdapat pembahasan soal kasus korupsi yang melibatkan politikus PDIP Emir Moeis. Padahal, Hasto Kristiyanto merupakan petinggi partai PDIP. “Dengan begitu dapat diartikan bahwa sebenarnya Abraham membicarakan kasus yang ditanganinya, dengan orang pihak yang terhubung dengan kasus itu. Ini pelanggaran berat,” paparnya.

                Bagian lain, ternyata surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) untuk kasus dugaan memberikan keterangan palsu yang dilakukan BW telah sampai ke Kejagung. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Tony Spontana menjelaskan, SPDP itu memang telah diserahkan ke Kejagung. “Tentunya akan diproses sesuai prosedur,” ujarnya

                Namun, proses hukum baru akan benar-benar terlihat kalau kasus ini sampai ke penuntutan. Untuk itu Kejagung telah menyiapkan enam jaksa untuk kasus ini. “Serta ada bantuan dari Kejati DKI Jakarta,” paparnya. Saat ditanya adakah tekanan agar kasus ini dipercepat? Tony menjelaskan bahwa Kejagung hanya akan memprosesnya sesuai prosedur yang ada. “Kami tidak akan melundak pada tekanan,” tegasnya.

Deputi Pencegahan KPK Johan Budi mengungkapkan setelah melakukan rapat, tiga pimpinan KPK sepakat menolak pengunduran diri Bambang Widjojanto. “Namun semuanya masih menunggu sikap presiden. Sebab sesuai undang-undang, presiden yang mengeluarkan Kepres pemberhentian,” terang Johan.

Soal keputusan presiden itu, KPK hingga kemarin malam belum mendapatkan informasi dari Istana. Pimpinan KPK menolak pengunduran tersbeut karena mereka sepakat melihat kasus BW hanya rekayasa. “Selain itu pimpinan saat ini kan tinggal empat, kalau mundur satu berarti tersisa tiga,” jelas Johan.

Terkait pelaporan para pimpinan KPK lainnya, yakni Adnan Pandu Praja dan Abraham Samad, Johan menilai hal tersebut sebuah pelaporan yang sempurna. “Bagaimana tidak sempurna, setelah Pak BW ditangkap, Pak Pandu, Pak Abraham dilaporkan dan informasinya Pak Zul juga akan menyusul,” jelasnya.

Bagi KPK setiap warga negara memang memiliki hak untuk melakukan upaya hukum, termasuk pelaporkan pimpinan KPK. Namun hal itu tentunya harus didasari bukti bukan sekedar fitnah. KPK, lanjut Johan, tidak akan mengambil langkah hukum terkait pelaporan-pelaporan tersebut.

Menurut Johan laporan-laporan itu tergantung Mabes Polri, apakah cepat ditindaklanjuti dengan menjadikan pimpinan KPK satu persatu menjadi tersangka. Jika hal itu dilakukan otomatis satu persatu pimpinan KPK akan menyusul nonaktif dan tidak lagi tersisa komisioner.

Tags :
Kategori :

Terkait