Partisipasi Rendah, Tapi Efektif
Sementara itu, sepinya perhelatan pilkada di sejumlah daerah, khususnya perkotaan, dinilai KPU bukanlah hal yang buruk. Sebab, secara umum justru terjadi peningkatan partisipasi pemilih dibandingkan pilkada sebelumya. KPU mengajukan pembelaan dengan mengklaim pilkada kali ini lebih efektif karena dilaksanakan dalam kondisi keterbatasan anggaran.
Hal itu disampaikan Ketua KPU Husni Kamil Manik sesaat sebelum bertolak Ke Medan, Sumut, kemarin (11/12). Dia menjelaskan, dari data yang sudah masuk hingga saat ini, partisipasi pemilih diakui lebih rendah daripada Pileg dan Pilpres 2014.
’‘Tapi, jika dibandingkan dengan pilkada sebelumnya, sedikit meningkat,’’ terangnya.
Sebagai perbandingan, pada pilkada sebelumnya, suasana kampanye lebih semarak ketimbang tahun ini. Paslon masih bebas membiayai kampanye dan memasang alat peraga kampanye di mana-mana. Kemudian, tidak ada pembatasan pengeluaran dana kampanye, sehingga para calon pun jor-joran.
Sedangkan, pada pilkada tahun ini banyak pembatasan. Iklan di media massa hanya boleh dilakukan KPU. begitupun dengan alat peraga kampanye. Kuantitasnya jauh lebih sedikit ketimbang saat kampanye dibiayai paslon akibat keterbatasan anggaran. Apalagi, kali ini belanja kampanye paslon juga dibatasi dan rapat umum hanya boleh dilakukan satu kali.
Dengan perbandingan tersebut lalu partisipasi justru meningkat, menurut Husni itu pertanda positif.
’‘Pilkada sekarang lebih efisien ketimbang yang lalu, dan sosialisasinya menjadi lebih efektif,’’ lanjut komisioner 40 tahun itu.
Husni masih optimistis partisipasi pemilih rata-rata nasional bakal meningkat, meski mungkin tidak mencapai target. Pihaknya masih menunggu data dari kawasan Kepulauan Maluku dan Papua. Secara tradisi, partisipasi di daerah-daerah itu tinggi. Khususnya, Papua yang sebagian daerahnya menggunakan sistem noken.
’‘Tahun ini yang pakai noken hanya Yahukimo, lainnya sudah tidak. Tapi partisipasinya saya dengar tetap tinggi,’’ tuturnya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menjelaskan, partisipasi pemilih benar-benar harus menjadi evaluasi KPU. Evaluasi utama yang harus dilakukan berkaitan dengan partisipasi pemilih adalah minimnya jumlah paslon.
Mayoritas pilkada hanya diikuti dua sampai tiga paslon saja. Bahkan, daerah dengan lebih dari empat paslon jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Hal itu membuat pemilih tidak punya banyak alternatif karena parpol tidak menyediakannya.
’‘Kondisi itu tidak secara maksimal mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat pemilih,’’ terangnya kemarin.
Parpol cenderung lebih suka mendukung paslon yang populer dan bermodal besar. Ditambah lagi, syarat minimal dukungan untuk mendaftar sebagai calon perseorangan terlampau berat, sehingga sangat sedikit yang mampu ikut serta. Karena itu, parpol harus didorong untuk memperbaiki kaderisasi agar pemilih benar-benar punya pilihan.
Kemudian, ada perbedaan antara janji kampanye dengan realitas politik nasional.. mayoritas isi kampanye paslon adalah janji pemberantasan korupsi, pemerintaha yang transparan, dan alokasi anggaran yang memihak rakyat. namun, pada saat bersamaan pemilih disuguhkan realitas masih banyaknya kasus kotrupsi di tyingkat nasional. Sebagian pemilih yang kritis pun akhirnya malas ke TPS karena ragu terhadap janji kampanye para paslon.
Faktor lainnya yang perlu menjadi bahan evaluasi adalah minimnya sosialisasi. ’‘Aktivitas sosialisasi dan pendidikan pemilih oleh penyelenggara pilkada menurun,’’ tudingnya.