’’Tapi, mama bikin lebih banyak lagi ya,’’ kata Ita menirukan ucapan Rilla ketika itu.
Ita pun makin bersemangat dan produktif melukis. Dalam waktu dua bulan, terkumpul 35 lukisan. Pagi atau siang, di luar waktunya untuk membaca Alquran, Ita melukis. Akhirnya, dia berhasil menyelesaikan 54 karya.
Proses kelahiran tiap lukisan dimulai dengan membuat warna dasar lebih dulu hingga lima lukisan sambil melukis ayat yang dijadikan kaligrafi. ’’Nunggu keringnya sekitar 3 hari,’’ kata alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta tersebut.
Pemilihan ayat yang dituangkan ke dalam kaligrafi kerap dikonsultasikan kepada guru mengaji. Itu pun komunikasi dilakukan via WhatsApp. ’’Saya juga bertanya apakah boleh saya gambar begini hurufnya, katanya boleh. Itu termasuk gaya kaligrafi kontemporer,’’ beber Ita menirukan sang guru ngaji.
Pilihan pada kaligrafi merupakan hasil interaksi yang intens dengan Alquran. Tak sekadar membaca, Ita juga meresapi makna yang terkandung dalam tiap ayat. Dari sanalah lantas lahir, antara lain, lukisan kaligrafi surah Al Fatihah, Al Kautsar, Al Insyirah, dan Al Kahfi. Semua turut dipamerkan.
Ita merasa, talenta melukis kaligrafi itu seakan tiba-tiba muncul dalam masa isolasi tersebut. ’’Sebelumnya saya nggak terbiasa menulis huruf hijaiyah dan nggak pernah sekolah seni secara formal. Tapi, ketika hati ingin mencoba, ternyata bisa,’’ ungkap perempuan 51 tahun kelahiran Magelang itu.
Setelah masa isolasi di dalam kamar selama tiga bulan, berangsur-angsur Ita boleh keluar kamar, tetapi masih di dalam area rumah. Dipantau dokter, hasilnya bagus. Mulai boleh keluar rumah, tetapi tidak dalam waktu lama.
Ketika jumlah lukisan sang ibu dirasa cukup, Rilla pun langsung merealisasikan gagasannya tadi. Kebetulan, dia tergabung dalam Quran Indonesia Project. Itu adalah project rekaman audio bacaan Alquran dalam tiga bahasa, Arab, Indonesia, serta Inggris, dan dapat didengar melalui gadget. Ita pun diajak Rilla dan teman-temannya berkolaborasi menggelar pameran lukisan.