Imran Yusuf, Kasi Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi, mengakui ada beberapa kasus yang masih menunggu audit kerugian negara, baik oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) maupun oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Jambi.
\"Seperti BRI RPL tinggal menunggu kesimpulan akhir. Lalu pipanisasi kita sudah koordinasi dengan kawan BPKP dan sudah ekspos. Mereka juga sudah melakukan penelitian terhadap dokumen yang kita serahkan,\" terangnya belum lama ini.
Disamping itu, sambungnya, ada kasus lintasan atletik KONI, Aleks Unja, Bintek DPRD Kota Jambi. \"Semua dalam tahap. Termasuk kasus petrochina pada masa lalu sudah diekspos di BPKP dan bagaimana perkembangannya tinggal tim yang membahas,\" bebernya.
Selain itu, ada beberapa kasus yang akan diaudit oleh BPKP soal kerugian negaranya. Diantaranya seperti kompleks perkantoran kerinci. \"Untuk kerinci ini kita akan turun bersama ke kerinci bersama tim tekhnis. Akan ekspos dengan BPKP,\" tegasnya.
Dia mengungkapkan, pihaknya tak hanya berkoordinasi dengan BPKP dalam melakukan audit kerugian negara. Namun pihaknya juga melibatkan BPK. \"Seperti perumahan PNS di Sarolangun dan bansos di dinas pendidikan yakni beasiswa. Rata-rata membutuhkan koordinasi dengan auditor untuk menyelaraskan strategi dan metode yang digunakan untuk menghitung audit kerugian negara dan penyidikan yang kita laksanakan. Karena auditor juga kekurangan jumlah dan ada SOP. Maka kita selalu bersinergi,\" tandasnya.
Sementara itu, Nazmi Pida, Kepala Badan Pengawas Kuangan Dan Pembangunan Daerah (BPKP) tidak dapat dijumpai saat didatangi ke kantornya. Menurut Jumadi, security BPKP belum lama ini, dia sedang berada di luar. Begitu juga Humas BPKP juga disampaikan, sedang pergi ke Lampung.
“Kepala BPKP sedang di Jakarta karena ada mau dilantik jadi kepala BPKP. Begitu juga dengan Humas BPKP sudah semingu tidak ada di kantor. Kantor BPKP ini sudah semingu tidak ada Humasnya dan kepalanya baru juga pergi dan sekarang lagi di Jakarta mau dilantik,\" sebutnya.
Pengamat hukum, Sukamto Satoto saat dimintai pendapatnya mengatakan, jika langkah Kejati untuk tidak terburu-buru dalam menetapkan status seseorang sebagai tersangka sangat baik. Sebab, dalam suatu dugaan tindak pidana korupsi, memang kerugian keuangan negara harus jelas.
\"Kejaksaan mau menetapkan kerugian negara kan tidak bisa. Dia sebagai penengak hukum bukan sebagai ahli keuangan negara. Tak bisa memang kejaksaan menetapkan langsung ada kerugian negara. Itu kan diatur dalam undang-undang BPK diatur bahwa yang berwenang menetapkan ada atau tidak kerugian negara adalah BPK. Diatur dalam pasal 10 ayat 1 UU nomor 15 tahun 2006,\" katanya.
Apalagi, katany, dengan adanya Undang-undang 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. \"Jadi pidana adalah hukum pamungkas. Pada saat administrasi belum diselesaikan, maka hukum pidana belum boleh masuk. Kalau penyalahgunaan wewenang atau batas wewenang atau tidak berwenang misalnya itu kan hukum administrasi yang mengujinya. Jadi pidana itu menunggu,\" jelasnya.
Menurutnya, yang berwenang melakukan audit memang BPK atau BPKP. \"Jaksanya memang harus menunggu hasil audit agar pembuktian di persidangan nantinya jelas. Kerugian negara itu kan harus nyata dan pasti berdasarkan pasal 1 ayat 15 undang-undang BPK itu,\" tegasnya.
(wsn/cok)