”Dari proses ini akan disatukan dan diidentifikasi masalahnya dimana, dan kita dorong penyelesaiannya seperti apa. Selama ini data tersebut belum ada. Nantinya dari data tersebut akan teridentifikasi semua,” katanya.
Dijelaskan Sulis, bahwa dari pajak sendiri juga belum punya data yang valid dari perizinan sawit, jika sudah valid nantinya baru bisa dihitung potensi pendapatan negara.
”Intensif kebun sawit untuk daerah pengahasil boleh dibilang tidak ada, karena CPO diekspor melalui Dumai, sehingga yang dapat intensifnya Dumai. Kalau dari hutan ada yang namanya DBH, tapi kalau sawit tidak ada,” ujanya.
Seperti saat ini, lanjutnya, belum ada standar pendaftaran perkebunan rakyat, pihaknya akan mendorong Dirjenbun untuk membuat pedoman atas standar tersebut.
Selain perencanaan berbasis spasial, sambungnya, pihaknya juga mendorong Dirjenbun membuat pedoman alokasi ruang yang sesuai, misalkan sawit, tempat yang cocok untuk sawit itu dimana.
”Kalu itu ada perencaaan berbasis spasial, kemudian alokasi ruang, itu izin-izin sembarang tidak terjadi,” sebutnya.
‘’Misalkan kabupaten dan provinsi ketika memberikan izin lokasi, itu harusnya mengacu pada perencaaan tadi, namun selama ini tidak ada. Kepala daerah asal-asal saja memberikan izin lokasi, apalagi hal itu sering dikaitkan dengan komuditas untuk pilkada dan sebagainya, dari situlah timbul tumpang tindih izin,” tuturnya.
Sulis berharap, semoga solusi yang mereka rumuskan tersebut bisa dijalankan, dan bisa dipahami oleh semua pihak, agar tidak lagi ada problem.
Sulis mengaku, pihknya, belum menghitung kerugian negara terkait permasalahan ini, karena kata dia, belum ada data yang valid spasial untuk menjadi landasan.
”Tapi kemarin contoh perhitungan di Kalimantan Barat, mereka kehilangan potensi Rp 7 triliun pertahun. Karena CPO dari daerah penghasil dikirim melalui Dumai jadi yang dapat Dumai. Mereka tidak dapat apa-apa. Ini yang kita usahakan, agar daerah penghasilan juga dapat bagian,”pungkasnya.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Budidaya kepada harian pagi Jambi Ekspres mengatakan, saat ini, jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Provinsi Jambi ada sebanyak 189 perusahaan.
”Luasnya lebih kurang 640 ribu ha,” katanya.
Terkait pelaporan dari perusaahaan yang hanya dua kali dalam setahun, Budidaya mengungkapkan, bahwa peraturan tersebut diamanatkan pada peraturan Mentri Pertanian.
”Jarak pelaporan yang 6 bulan sekali memang sanagat jauh, munkin itu akan diubah,” pungkasnya.
Sementara itu, sebelumnya Presiden RI Joko Widodo menyampaikan kejutan dalam perayaan Hari Kehutanan Sedunia kemarin (14/4). Setelah menghadiri seremoni pelepasan satwa dan penanaman tanaman di pantai Pulau Karya, Kepulauan Seribu, dia pun memberikan mandat terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar untuk segera menerapkan moratorium terhadap perizinan lahan kelapa sawit dan pertambangan.
Pada kesempatan doorstop, Jokowi mengaku telah memberikan arahan informal kepada Siti Nurbaya Bakar. Arahan tersebut diberikan untuk memperkuat instruksi presiden nomor 18 2015 tentang moratorium izin penggunaan lahan gambut sebagai perkebunan kelapa sawit. Untuk kembali mencegah penyalahgunaan kawasan hutan yang semakin mengecil, Jokowi pun meminta adanya moratorium perizinan lahan konsesi kelapa sawit dan pertambangan yang baru.