Oleh: Wahyudi Kumorotomo*
TAHUN lalu, ketika Presiden Jokowi bicara tentang kinerja lembaga pemerintah di Indonesia, peringkat doing business ditargetkan bisa meningkat dari angka 109 ke angka 40-an atau sejajar dengan negara ASEAN (Thailand atau Malaysia). Cukup sulit mencapai target itu karena saat ini peringkat Indonesia masih di angka 72 dari 190 negara. Untuk ukuran Asia Tenggara, bahkan peringkat Indonesia masih kalah dibanding dengan Vietnam, yang ada di peringkat ke-68.
Mengapa setelah sekian tahun pemerintah melaksanakan reformasi birokrasi (RB), bahkan menambah remunerasi pegawai secara drastis sejak 2008, kinerja birokrasi dan daya saing bangsa kita masih juga lemah?
Hentikan Formalitas
Salah satu negara yang berhasil mewujudkan reformasi birokrasi dengan efektif adalah Korea Selatan. Posisi Korsel pada 1950-an sebenarnya setara dengan Indonesia. Tetapi, dalam waktu empat dasawarsa, Korsel sudah mampu menyejajarkan diri dengan kemajuan di negara-negara OECD. Tiga kunci yang menentukan kemajuan bangsa itu adalah pengembangan SDM, strategi tekno-industrial yang tepat, dan reformasi birokrasi yang konsisten.
Reformasi birokrasi di Korsel terjadi di era Presiden Park Chung-hee. Pada periode 1987–2002, Korsel memulai proyek besar-besaran berupa penyediaan infrastruktur e-government (Choi, 2010). Di tahap awal, investasi infrastruktur e-government itu membutuhkan dana yang sangat besar, sedangkan penggunanya nyaris nihil. Namun, karena komitmen pemerintah yang begitu kuat dengan mewajibkan lembaga pemerintah menjadi pengguna perangkat keras dan perangkat lunak yang dikembangkan secara mandiri, kebijakan e-government menunjukkan sukses luar biasa.
Pertama, meluasnya pengguna fasilitas dan aplikasi yang dikembangkan oleh pemerintah berhasil menutup biaya investasi awal di bidang teknologi informasi dan sekaligus mendorong kreativitas para pekerja teknologi.
Kedua, e-government berhasil mengikis korupsi yang menjangkiti birokrasi. Saat ini kemudahan berusaha di Korsel menempati peringkat ke-4 dari seluruh negara yang disurvei.
Banyak pengamat yang tidak habis percaya bahwa daya saing Vietnam yang baru memulai perencanaan pembangunan sistematis pada sekitar 1980-an itu bisa menyalip Indonesia. Seperti kita lihat, peringkat doing business Vietnam pada 2017 ini sudah beberapa angka di atas Indonesia. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
Melihat grand design reformasi birokrasi Vietnam, awam pun bisa melihat bahwa dokumen ini bukan sekadar formalitas, tetapi mengandung visi yang jelas dengan target-target capaian yang objektif (Vinh dan Lan, 2016), yaitu untuk meningkatkan daya saing nasional agar bisa menjadi negara industri pada 2030. Ada empat komponen yang hendak dicapai: efisiensi birokrasi, peningkatan kualitas pelayanan publik, besaran investasi swasta, dan daya saing nasional.
Kalau kita ingin kembali menempatkan Indonesia ke dalam radar para investor global dan mengambil manfaat optimal dari perdagangan internasional, rencana-rencana reformasi birokrasi tidak boleh hanya terhenti di formalitas. Betapapun, momentum mereformasi birokrasi harus disesuaikan dengan kebutuhan riil dari masyarakat.
Terukur dan Realistis
Nawacita yang ditetapkan oleh pemerintah Jokowi-JK, khususnya butir pertama dan keempat, menyebutkan secara jelas pentingnya kehadiran negara dan menciptakan aparatur yang bebas korupsi. Perpres No 81/2010 telah menetapkan grand design RB hingga 2025 dengan tiga sasaran pokok (pemerintahan yang bersih, kualitas pelayanan yang baik, dan akuntabilitas birokrasi yang lebih baik).
Di semua instansi pusat, kenaikan remunerasi telah meningkatkan penghasilan riil bagi sejumlah pejabat. Di daerah, SKPD beramai-ramai secara formal membentuk satgas RB. Tetapi, dari segi efektivitasnya, belum banyak yang berubah dari pola tata kerja di antara ASN (aparatur sipil negara). Di dalam struktur APBN, belanja aparatur pemerintah saat ini menempati proporsi yang paling besar karena adanya tambahan remunerasi. Sayangnya, proporsi belanja yang besar bagi belanja pegawai itu belum diimbangi dengan kinerja yang membaik.
Efektivitas berbagai paket kemudahan berusaha yang diluncurkan oleh pemerintah adalah indikator yang paling jelas bagi keberhasilan RB. Terdapat 204 regulasi yang telah direvisi dan diperbaiki dengan prinsip HGSL (hapus, gabung, sederhanakan, limpahkan). Namun, masih banyak urusan dengan lembaga publik yang tampaknya diselenggarakan dengan paradigma mempersulit pengguna jasa. Peraturan yang terdapat di bawah kendali eksekutif mungkin sudah mulai terdapat perbaikan, tetapi masih banyak kebutuhan perbaikan regulasi di bawah undang-undang yang membutuhkan perampingan seperti HO (hindrance ordonantie), TDP (tanda daftar perusahaan), penyatuan izin prinsip dan izin lokasi, dan sebagainya.
Banyak daerah yang masih terpaku pada peraturan lama tentang perizinan dan kurang ada terobosan. Di Kota Surabaya, Jogja, dan Palangka Raya, pemusatan urusan di berbagai dinas teknis ke dinas perizinan atau UPTSA telah meningkatkan efisiensi dan mempermudah urusan. Tetapi, ada sebagian daerah yang justru menetapkan jenis-jenis lisensi baru untuk fungsi yang sama, misalnya UKL/UPL (upaya kelola lingkungan/upaya pemantauan lingkungan) dan SPPL (surat pernyataan pengelolaan lingkungan), atau mengalihkan otorisasi negara kepada warga dalam bentuk izin gangguan yang tidak berbeda dengan HO. Akibatnya, meskipun peringkat doing business di tingkat nasional membaik, di banyak daerah peringkatnya justru memburuk.
Dengan melihat perincian dari parameter yang digunakan dalam doing business, titik lemah yang paling mencolok bagi Indonesia adalah dalam hal memulai bisnis, izin mendirikan bangunan (IMB), dan pendaftaran properti (tanah dan bangunan).