JAKARTA - Niat pemerintah pusat membangun kereta api cepat jalur Jakarta - Bandung berpotensi berubah. Rencananya, pembangunan tersebut tidak berhenti di Bandung. Melainkan akan dilanjutkan hingga Bandara Kertajati, Majalengka atau bahkan Jogjakata Solo.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan, ide untuk melakukan perubahan muncul setelah mempertimbangkan efektivitas dan asas kemanfaatan. Secara teoritis, semakin jauh trayek perjalanannya, maka akan semakin bagus.
\"Kalau penumpangnya lebih jauh, lebih banyak, kan malah lebih feasible,\" ujarnya di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin (5/2).
Budi mencontohkan, perubahan dari Jakarta - Bandung menjadi Jakarta - Bandung - Bandara Kertajati bisa menaikkan jumlah penumpang. Bahkan, ekstrimnya mungkin bisa tiga kali lipat. Sementara di sisi lain, penambahan panjang rel hanya sekitar 80 kilometer.
\"Kan kalau Bandara itu rutin, orang dari Karawang mau ke Kertajati buat ke luar negeri disuruh bayar 300,000 kecil. Tapi bukan harian, contoh,\" imbuhnya.
Saat ini sendiri, pemerintah masih dalam tahap mengkaji potensi perubahan tersebut. Budi mentargetkan, kajian tersebut diharapkan bisa selesai pada akhir Februari ini. Terkait kontraktornya, pria berusia 61 tahun itu mengisyaratkan akan tetap menggunakan teknologi dari China sebagaimana rencana awal. \"Kelihatannya akan tetap begitu (China),\" tuturnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan membenarkan jika ada rencana penambahan jalur menjadi. Bahkan, bukan hanya sampai ke Kertajati, melainkan juga sampai Jogjakarta atau Solo. Diakuinya, konsep kereta cepat baru feasible jika rutenya lebih dari 300 kilometer. “Opsi itu kita buka,” ujarnya.
Meski demikian, hal itu harus dikaji lebih dalam. Kalaupun nantinya kembali ke rencana awal menjadi Jakarta -Bandung, dia menilai hal itu tidak menjadi masalah. “Kalau 140 kilometer dulu, ya jalan dulu,” kata mantan Menkopolhukam itu.
Dia membenarkan jika hasil evaluasi akan disampaikan akhir bulan ini. Pihaknya akan segera melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga (K/L) terkait. Pasalnya, belajar dari penggarapan LRT, penanganannya tidak bisa ditangani satu lembaga, tapi harus terintegrasi.
“Apakah 140 km atau sampai kertajati atau sampe ke Yogya-Solo, masih ingin lihat feasibilitas,” pungkasnya.
(far)