Opsi lain, para pelajar kelas XII tersebut bisa saja menumpang di salah satu sekolah di Malinau. Namun, meski satu kabupaten, biayanya ternyata jauh lebih mahal ketimbang ke Tanjung Selor.
Untuk sampai ke Malinau, tutur Lenggang, pihaknya harus mengeluarkan biaya pesawat Rp 1,6 juta per orang. Itu pun penumpang harus full. ”Kalau hanya satu dua tidak akan jalan. Bisa jalan asalkan dicarter dengan biaya puluhan juta,” kata Lenggang.
Karena itu, pilihan terbaik adalah ke Tanjung Selor melalui sungai. Tapi, ya itu tadi, butuh perjalanan hampir dua hari. Penuh bahaya. Juga, tidak bisa dibilang sepenuhnya murah.
Beruntung, masyarakat serta pemerintah desa dan kecamatan bergotong royong membantu. Tarif longboat, misalnya, untuk 11 murid plus 3 guru hanya dikenakan Rp 6,5 juta. Padahal, normalnya Rp 700 ribu–Rp 800 ribu per orang.
Maka, pada Minggu pagi lalu, dimulailah perjalanan panjang itu. Bagi Farel Lukas, salah seorang murid, itu perjalanan pertamanya ke ibu kota.
”Awalnya takut ke sini (Tanjung Selor, Red) karena banyak giram dan perjalanannya menantang,” katanya.
Tapi, karena akan mengikuti ujian, dia membulatkan tekat. ”Dan, syukur saya juga tahu berenang,” ujar sulung di antara empat bersaudara itu.
Setelah melewati perjalanan yang cukup ekstrem, karena ada beberapa titik giram, mereka harus menginap dulu satu malam di Desa Long Paliran. Keesokan harinya, rombongan baru melanjutkan perjalanan dari Long Paliran menuju Tanjung Selor.
Rute yang mereka lewati lebih ekstrem. Masih ada beberapa titik giram. Beberapa kali seluruh penumpang harus turun dan berjalan kaki di tepi sungai yang dipenuhi bebatuan. Hingga sampai pada titik yang sudah aman untuk longboat melaju kembali.
Sampai akhirnya tiba juga di Tanjung Selor. Mereka menginap di rumah kontrakan salah seorang warga Long Alango. ”Kebetulan kosong. Jadi, kami dipersilakan menempati,” katanya.
Bukan berarti persoalan selesai. Untuk 40 hari ke depan, para murid dan guru mesti pintar-pintar berhemat. Sebab, uang saku terbatas.
Untuk itu, tiap murid membawa bekal masing-masing 15 kilogram. Sedangkan bahan lainnya seperti kunyit, cabai, serai, dan beberapa bahan lainnya hasil tanaman orang tua.
”Di sini ada keluarga. Jadi, tidak terlalu,” kata Sulau Lugi, murid lainnya.