Perjuangan Siswa di Pedalaman, Dua Hari Mengarungi Sungai demi Persiapan Ikut UNBK

Minggu 04-03-2018,00:00 WIB

Tanpa internet dan cuma punya satu komputer yang berfungsi, para siswa SMA di pedalaman Kalimantan Utara harus merantau puluhan hari ke ibu kota provinsi. Berbekal beras, cabai, kunyit, dan serai.

FITRIANI, Tanjung Selor

YANG tampak di depan mata hanya gelap yang secara susah payah ditembus lampu senter. Padahal, Sungai Bahau, tempat longboat melaju, terkenal ganas. Banyak giram. Sudah banyak korban.

”Harusnya kami memang menginap dulu di desa terdekat dari Tanjung Selor,” kenang Lenggang Inggi tentang perjalanan berbahaya pada Senin malam (26/2) itu.    

Bersama Lenggang yang juga kepala SMAN 10 Malinau itu, 11 siswa dan 2 guru lain dari sekolah yang dia pimpin tersebut. Berangkat dari Desa Long Alango di pelosok Kalimantan Utara, mereka tengah menuju ibu kota provinsi termuda di Indonesia itu.

Lenggang meminta motoris untuk terus jalan ke Tanjung Selor karena pakaian dan barang bawaan para murid serta guru banyak yang basah. Karena itu, dirasa percuma kalau menginap.

”Jadi, saya minta motoris pelan-pelan saja dengan mengandalkan senter sebagai penerangan,” katanya kepada Radar Kaltara (Jawa Pos Group). 

Tanjung Selor akhirnya berhasil dicapai pada sekitar pukul 21.00 Wita. Setelah melalui perjalanan panjang nan penuh bahaya mulai Minggu pagi (25/2). Hanya agar ke-11 murid SMAN 10 Malinau bisa mengikuti ujian nasional berbasis komputer (UNBK).

Mereka akan menumpang di SMAN 1 Tanjung Kelor sampai waktu UNBK tiba pada 9–12 April. Berarti sekitar 40 hari.

Itu terpaksa mereka lakukan karena keterbatasan fasilitas sekolah yang berada di pelosok Malinau, persisnya di Kecamatan Bahau Hulu, tersebut. Padahal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah menargetkan bahwa pelaksanaan UNBK tahun ini harus 100 persen diterapkan di tingkat SMA/SMK sederajat.

Persoalannya, SMAN 10 Malinau yang belum lama berdiri hanya memiliki tiga unit komputer. Dua di antaranya rusak.

”Jika pelajaran komputer, pelajar harus bergantian menggunakan satu unit yang masih baik. Termasuk menggunakan laptop guru yang ada,” tuturnya.

Jaringan internet? Sangat sulit diakses. Meski pihak desa sudah menghidupkan mesin tower yang menggunakan genset, sinyalnya terkadang tidak muncul hingga sepekan.

Padahal, untuk menghidupkannya, dibutuhkan solar. ”Harganya cukup tinggi, sekitar Rp 20 ribu per liter,” jelas Lenggang.

Tags :
Kategori :

Terkait