Menang atau tidak, cakada yang ditetapkan tersangka oleh KPK tetap harus melalui proses hukum. ”Kalau dia menang. Diumumkan tersangka, nggak jadi (kepala daerah). Tapi, sudah selesai pilkadanya. Jadi yang bersalah itu pribadi,” beber Jimly. Kecuali jika KPK melaksanakan operasi tangkap tangan (OTT). ”Kalau tertangkap tangan, langsung harus ditindak,” ujarnya. Sebab, sudah pasti ada bukti dan fakta yang tidak bisa dibantah dalam setiap OTT.
Pernyataan ketua KPK itu mendapat respon beragam dari partai. Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily mengingatkan, bahwa sudah ada kesepakatan antar penegak hukum termasuk KPK, bahwa kasus yang melibatkan pasangan calon akan diselesaikan di luar tahapan pilkada. ”Kesepakatan itu ada, terkecuali bagi yang (kena) OTT (Operasi Tangkap Tangan, red). Kalau itu kami tidak bisa intervensi,” kata Ace yang juga anggota Komisi II DPR itu.
Menurut Ace, apa yang disampaikan Ketua KPK adalah bentuk kehati-hatian, karena KPK tidak bisa mengumumkan tanpa ada bukti kuat. Karena itu, pernyataan Ketua KPK itu harus menjadi warning bagi para calon kepala daerah. ”Supaya hati-hati jangan sampai menggunakan cara-cara yang koruptif,” ujarnya.
Berbeda dengan Ace, anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengkritik cara ketua KPK. Dalam hal ini, sikap ketua KPK yang menyatakan akan menjerat para calon kepala daerah menunjukkan bahwa yang bersangkutan cenderung menggunakan pendekatan masa depan dalam penegakan hukum.”Penegak hukum itu tidak boleh pakai future tense, pakainya present tense. Grammar-nya harus itu, hari ini ada dua alat bukti umumkan siapa saja,” kata Arsul mengingatkan.
Sekretaris Jenderal DPP PPP itu mengingatkan agar KPK tidak membuka wacana baru, yang membuat publik bertanya-tanya siapa calon kepala daerah yang menjadi tersangka. Dia mengingatkan, dulu KPK pernah memberikan stempel spidol merah dan kuning terhadap calon menteri yang akan dipilih Presiden Jokowi. Nyatanya, sampai saat ini tidak jelas proses penegakan hukum terhadap sosok yang diberi tanda spidol itu.”Menurut saya KPK secara tidak sadar melakukan politisasi terhadap proses hukum,” tandasnya.
Ada Pengaduan Dari Jatim
Sementara itu, Wakil ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, kasus yang melibatkan sejumlah calon kepala daerah itu, tak hanya berasal dari pemantauan transaksi mencurigakanmelalui PPATK. Tapi ada juga yang berasal dari laporan publik yang masuk ke KPK.
”Dari beberapa (kasus yang ditangani KPK, Red) itu, salah satunya ya berasal dari laporan masyarakat,” kata Laode usai menghadiri Rakor dan Penandatanganan Komitmen Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di Gedung Negara Grahadi kemarin.
Yang menarik, Laode menyebut bahwa sejumlah laporan yang tengah ditangani KPK itu berasal dari pengaduan asal Jatim. ”Tadi kan laporannya ada juga yang dari Jatim,” katanya.
Dalam acara itu, Laode sempat membeber sejumlah pengaduan dugaan korupsi yang masuk ke KPK, terutama di wilayah Jatim. Dari data yang dipaparkan, selama tiga tahun terakhir, tercatat ada 1.772 laporan yang telah diterima oleh lembaga antirasuah itu.
Dari data pengaduan yang masuk ke KPK mulai tahun 2015-2018, laporan terbanyak terjadi pada tahun 2017 sebanyak 605 laporan. Sementara itu, selama 2018, tercatat sudah ada 86 laporan baru yang diterima KPK. Dari semua laporan yang masuk itu, yang cukup dominan adalah laporan terkait dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat.
(ris/bay/idr/syn)