JAKARTA - Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan tersangka untuk peserta pilkada dinilai akan berdampak besar. Masyarakat tentunya bisa mendapatkan panduan untuk bisa memilih sosok yang lebih bersih, namun juga bisa pula menambah potensi konflik.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menjelaskan, ada berbagai pandangan terkait pengumuman tersangka peserta pilkada tersebut. Salah satunya, bisa menimbulkan proses yang tidak diinginkan. Namun, ada pula pandangan hukum yang juga harus dipertimbangkan. ”Misalnya, jangan tangkap Mendagri, tapi kalau Mendagrinya salah bagaimana,” tuturnya.
Yang pasti, setiap penegak hukum tentunya harus mengedepankan azaz praduga tidak bersalah. Serta, memiliki bukti yang mencukupi. Tentunya, harus ada ketetapan hukum atau inkracht dalam setiap kasus. ”Intinya itulah,” paparnya ditemui dalam acara tim terpadu penanganan konflik di hotel Bidakara kemarin.
Dia juga meminta setiap peserta pilkada dan penyelenggara pilkada untuk menhindari politik uang. Sehingga, tidak terjadi operasi tangkap tangan (OTT), seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. ”Jangan money politic, jangan sampai terjadi OTT,” ujarnya.
Menurutnya, sebenarnya Kemendagri telah menggelar rapat dengan pimpinan KPK terkait penegakan hukum, khususnya dengan adanya momentum pilkada serentak. ”Prinsipnya, saling menghormati dan sepakat untuk melakukan fungsi pencegahan,” terangnya.
Demi membangun demokrasi yang bermartabat, semua lembaga penegak hukum akan mengawal dan mengantisipasi politik uang. ”Dengan demokrasi yang bermartabat, semua bisa jalan. Investasi tetap jalan, pembangunan tetap berjalan,” urainya.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengatakan, memang untuk menangani money politic itu cukup sulit. Seharusnya, peserta pilkada ini mencari cara dan konsep yang baik dalam mendapatkan suara. ”Bukan main sogok menyogok,” jelasnya.
Kalau kekuatan uang yang diandalkan, akan menimbulkan masalah. Setidaknya, akan ada ketidakpuasan yang bisa menyulut konflik. ”Ini harus kita jaga jangan sampai terjadi,” paparnya.
Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuturkan, pengumuman tersangka terhadap peserta pilkada dalam satu sisi akan membantu masyarakat tidak memilih calon kepala daerah yang diduga melakukan korupsi. ”Namun, kondisinya juga perlu untuk dilihat setiap daerahnya,” paparnya.
Ada kemungkinan pendukung atau simpatisannya nanti akan bergejolak. Sebab, mereka dalam posisi mencoba untuk memenangkan pilkada. ”Ini juga perlu dipertimbangkan,” paparnya.
Pakar Hukum Jimly Asshiddiqie menyarankan agar KPK meniru Polri. Menurut dia, penetapan tersangka lebih baik dilaksanakan setelah pilkada serentak selesai. ”Saran saya, lebih baik sikap Polri,” imbuh mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Tentu, dia punya alasan kuat. ”Tidak mencampuradukan proses politik dan proses hukum,” kata dia. Selain itu, juga untuk menjauhkan KPK dari citra negatif dan menjaga lembaga antirasuah dari politisasi.
Meski integritas KPK tidak diragukan, Jimly menyampaikan bahwa tetap sulit membayangkan tidak ada persepsi apabila KPK menetapkan cakada sebagai tersangka sebelum pilkada serentak diselenggarakan. ”Jadi, supaya penegakan hukum itu murni tunggulah. Ini kan soal seni menetapkan tersangka,” ucap pria yang dipercaya sebagai ketua umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) itu. Saat ini, lebih baik KPK mengumpulkan barang bukti sehingga tidak bisa dibantah lagi.
Jangan sampai, sambung dia, hukum pidana dijadikan alat politik. ”Itu yang harus dicegah,” ujar Jimly. Menurut pria asal Palembang itu, cara mencegah yang tepat adalah menetapkan tersangka pasca pilkada. Bukan sebelum pilkada berlangsung. ”Belum tentu juga dia (cakada berpotensi tersangka KPK) menang,” ucapnya. Jika terus dilakukan, bukan tidak mungkin penetapan tersangka sebelum pilkada bakal berpengaruh pada indeks demokrasi. ”Makin rusak,” imbuhnya.
Sebab, cakada yang sudah terdaftar kemudian ditetapkan tersangka tidak bisa mengundurkan diri. Mereka tetap harus bertarung dalam pilkada. Contohnya calon gubernur NTT sekaligus Bupati Ngada Marianus Sae. Dia sudah menjadi tersangka juga berstatus tahanan KPK. Tapi, tidak bisa mundur dalam kontestasi pilkada di tempat asalnya. ”Kalau misalnya 20 orang saja (dari cakada di 171 daerah) jadi tersangka, kacau itu,” ucap Jimly.
Apalagi jika mengingat perlu ada kearifan dalam penetapan seseorang menjadi tersangka. Seharusnya, masih kata Jimly, KPK bisa menetapkan tersangka pasca pilkada. ”Melihat rasa keadilan yang tumbuh dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Ini kan soal kearifan,” beber Jimly. Bukannya tidak boleh menetapkan cakada sebagai tersangka. Melainkan memundurkan penetapan tersangka agar proses hukum dan proses politik terpisah.