Sepuluh tahun pertama di kekuasaannya nama Pak Harto harum. Tidak ada nepotisme. Atau sedikit sekali. Atau tidak ada yang tahu. Pun tidak boleh ada yang tahu.
Sepuluh tahun kedua, anak-anak mulai besar. Paman-pamannya juga mulai bisa bisnis. Mulailah terjadi kolusi. Dan nepotisme.
Dan sepuluh tahun ketiga: kita semua tahu --merajalela. Rakyat sebenarnya hanya marah di dalam hati. Sampai akhirnya terjadi krisis moneter. Rupiah hancur.
Terjadilah reformasi. Presiden Soeharto dijatuhkan. Segala yang berbau Orde Baru dienyahkan.
Soeharto adalah simbol KKN. Tuduhan pada beliau adalah melakukan tiga-tiganya.
Maka kata nepotisme menjadi sama negatifnya dengan korupsi dan kolusi.
Orang terbius oleh istilah tiga huruf itu.
Bahkan istilah itu terbawa ke perusahaan swasta. Publik menjadi tidak bisa membedakan mana ranah publik (instansi pemerintah, BUMN/BUMD, perusahaan publik) dengan ranah swasta.
Nepotisme di perusahaan swasta juga disalah-salahkan.
Padahal, sebenarnya, posisi N tidak sama dengan K dan K. Pun di ranah publik. Apalagi di ranah swasta murni.
Tapi apakah berarti N itu baik?
Sama sekali tidak baik. Apalagi di ranah publik.
Hanya perlu diingat: N tidak melanggar hukum. Sampai suatu saat kelak hukum positif kita memasukkan N ke dalamnya.
Atau jangan-jangan sudah --hanya saya kurang mengikuti perkembangan.
Di mana tidak baiknya N?
Tentu tidak sama.