JAKARTA - Pakar epidemiologi dr Tifauzia Tyassuma mengingatkan akan pentingnya pemahaman tentang vaksinasi dan kekebalan kelompok atau herd immunity. Peringatan Tifauzia itu didasari masih adanya kesenjangan pemahaman masyarakat terkait vaksinasi. Salah satu buktinya ialah seorang figur publik yang keluyuran tanpa menerapkan protokol kesehatan setelah sebelumnya menerima suntikan vaksin Covid-19. \"Jadi jangan berputar pada halusinasi massal yang menyatakan bahwa kalau selesai vaksinasi maka akan timbul herd immunity,\" ujar Tifauzia dalam kanal Hersubeno Arief di YouTube.
Mantan direktur Unit Clinical Epidemiology dan Evidence Based Medicine (CEEBM) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) - RS Cipto Mangunkusumo itu menegaskan, vaksinasi dan herd immunity merupakan dua hal berbeda. ADVERTISEMENT Tifauzia menyebut vaksinasi dan herd immunity ibarat dua kereta di rel yang berbeda. Herd immunity, tuturnya, merupakan kekebalan komunitas yang diperoleh dari orang-orang yang terpapar kuman atau virus secara alamiah. Oleh karena itu orang-orang yang terpajan virus secara alami itu akan memberikan proteksi kepada orang yang tidak terppar.
\"Terpajan itu maksudnya terpapar virus tetapi belum tentu terinfeksi, bahkan bisa dia melakukan investasi, yaitu ketika terpajan tubuhnya menghasilkan antibodi,\" tuturnya.
Menurutnya, orang-orang yang terpajan virus itu memiliki modal dalam bentuk antibodi tanpa terinfeksi. \"Ini maksudnya menabung antibodi. Jadi ini yang sangat-sangat kita harapkan sebenarnya,\" bebernya.
Tifauzia menambahkan, herd immunity alamiah membutuhkan 40-70 persen dari populasi terpajan virus. Namun, dia mengaku pesimistis bahwa herd immunity bisa tercipta secara alami di Indonesia. Oleh karena itu jika istilah herd immunity dipakai di dalam mekanisme vaksinasi, Tifauzia menyebutnya sebagai kekebalan kelompok yang direkayasa. \"Nah ini enggak bisa pemahaman mekanisme herd immunity natural kemudian diidentikkan atau diartikulasikan dengan herd immunity yang kita harapkan muncul dari vaksinasi, ini sesuatu yang sangat berbeda pemahamannya. Jadi ini perlu diperjelas lagi,\" ujarnya.
Dokter Tifa -panggilan akrabnya- juga memperkirakan pandemi Covid-19 tidak bisa dihentikan dalam 12 bulan sejak vaksinasi. Sepanjang 220 tahun sejarah vaksinasi, katanya, tidak pernah ada virus bisa dihentikan dalam waktu tiga tahun apalagi 12 bulan. \"Enggak ada itu,\" ujarnya. Dia lantas mencontohkan vaksin cacar dan polio yang telah terbukti sukses. Menurutnya, vaksin cacar membutuhkan waktu 80 tahun, sedangkan vaksin polio butuh waktu 70 tahun. \"Jangan berharap dengan waktu yang singkat itu Covid akan tereradikasi. Jangan berharap seperti itu,\" pungkasnya.(esy/jpnn)
Sumber: www.jpnn.com