Tidak terasa, itu lebih dari 20 tahun lalu...
Saya jadi lebih kenal Mas Yuyung waktu \"makin serius\" mengerjakan koran. Waktu dipindah jadi redaktur lembaran Metropolis, waktu itu berisikan tiga halaman meliput segala dinamika kota Surabaya dan sekitarnya. Mulai politik, kriminalitas, lifestyle, dan lain sebagainya.
Selain saya, tim redakturnya waktu itu ada Mas Kurniawan Muhammad, Imam Syafii, dan almarhum Mas Arif Santosa. Fotografer andalannya hanya satu, Mas Yuyung Abdi.
Mungkin karena background saya belajar bikin koran di Amerika, setiap sore saya selalu merancang halaman dari visualnya dulu. Apa foto utamanya? Apakah foto utama itu juga berita utama? Kalau bukan, lalu apa berita utamanya? Dari situ lantas halaman ditata.
Mas Yuyung jadi sangat penting perannya. Karena kalau dia tidak punya foto istimewa, maka sore dan malam itu kita harus kerja lebih keras untuk memastikan halamannya istimewa.
Alhamdulillah, dari awal saya merasa langsung \"satu frekuensi\" dengan Mas Yuyung. Dia paham betul apa yang saya harapkan. Tanpa saya minta, dia langsung bisa memberi bahan diskusi. Foto vertikal, foto horisontal, foto kotak, atau foto di-crop bentuk (kami menyebutnya \"dihewes-hewes\"). Kadang, sebelum dia datang dia sudah mengabari fotonya bakal seperti apa. Jadi menghemat waktu kami untuk merancang halaman sedini mungkin.
Kalau Mas Yuyung libur, baru kami agak pusing.
Kalau pun dia tidak libur, dan hari itu sedang \"sepi momen dan situasi\" yang bisa difoto bagus, dia sudah bisa membaca pikiran saya. Ada satu momen yang saya ingat betul sampai sekarang. Di mana dua orang sepemikiran bisa saling menyandarkan diri pada satu sama lain untuk menghasilkan halaman koran yang kreatif dan unik.
Hari itu, benar-benar tidak ada \"berita besar.\" Tidak ada pula momen bagus atau situasi bagus yang layak jadi foto utama. Kadang, hari-hari seperti itu terjadi...
Nah, hari itu, Mas Yuyung punya satu foto. Tapi itu foto artistik, foto yang dia ambil untuk memuaskan hatinya sebagai seorang fotografer. Yang kadang tidak ingin terkekang oleh tuntutan \"news.\"
Fotonya adalah beberapa kupu-kupu indah di kawasan pembangunan Jembatan Suramadu. Redaktur koran lain pasti akan menolak foto itu. Karena \"tidak ada beritanya.\"
Mas Yuyung tahu betul saya pasti bisa \"bermain-main\" dengan foto itu, menjadikannya \"sesuatu.\" Akhirnya, saya membuat keputusan cepat. Foto kupu-kupu itu saya jadikan foto utama. Terus terang saya agak tersentuh oleh foto tersebut. Saya pun membuatkan naskah pendek agak puitis di sebelahnya, berjudul Kupu-Kupu Suramadu.
Besoknya, tampilan halaman itu jadi indah. Mungkin bukan berita murni, tapi sesuatu yang bisa membuat orang lebih melek dan apresiatif pada \"seni membuat koran.\" Bahwa halaman tidak harus melulu berisikan berita-berita yang \"keras.\"
Selama saya bekerja dengan Mas Yuyung, ada begitu banyak momen bersejarah dia rekam untuk kota Surabaya. Bagaimana problem kaki lima dan bangunan liar dibersihkan di kota ini. Bagaimana Surabaya mendapatkan wali kota hebat pertamanya, Mas Bambang DH, yang membantu membersihkan segala masalah kota waktu itu.
Mas Yuyung pula yang dengan kreatif memotret Bu Risma di atas Taman Bungkul, menggunakan truk pemkot. Waktu itu Bu Risma masih menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Tim Metropolis kami menobatkannya sebagai tokoh terbaik waktu itu. Momen itulah yang mungkin mendorong Bu Risma menjadi seperti sekarang.
Mas Yuyung ketika melakukan sesi pemotretan Bu Risma dan Mas Whisnu Sakti Buana saat keduanya menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya.