Wednesday, 17 Februari
Oleh: Azrul Ananda
Inna lillahi wainna ilayhi rajiun...
Beberapa hari lalu, ketika mendapat kabar Mas Yuyung Abdi harus dirawat di ICU-Covid RS Unair Surabaya, hati saya sudah tidak enak. Tapi kemudian ada kabar kalau kondisinya membaik. Seperti grafis sinus-cosinus, kabar terburuk kemudian muncul Selasa pagi kemarin (16 Februari).
Mas Yuyung meninggal dunia pukul 09.00 WIB.
Saya langsung berbincang dengan istri saya. Karena bagi kami, Mas Yuyung bukan sekadar seorang fotografer hebat. Salah satu yang terbaik yang pernah saya kenal, dan saya bangga pernah bertahun-tahun bekerja langsung satu tim dengannya.
Bagi saya dan istri, Mas Yuyung itu saksi kunci. Saksi saat kami kali pertama bertemu pada 2000 lalu.
Waktu itu, saya baru beberapa bulan pulang kuliah. Masih \"setengah bekerja\" di kantor orang tua, mengerjakan halaman anak muda bernama DetEksi. Istri saya, yang waktu itu baru saja menjadi finalis Gadis Sampul, diundang ke kantor untuk diwawancara dan difoto.
Tentu saja, kami kenalan waktu itu. Mas Yuyung termasuk yang menggoda, supaya saya \"membayar\" sesi pemotretan itu dengan makan-makan di kafe di kantor, yang terletak di lantai enam.
Kami pun kenalan. Walau tidak langsung jadian dan baru benar-benar pacaran --dan menikah-- beberapa tahun kemudian, segalanya dimulai pada hari itu.
Mas Yuyung adalah saksi kunci.
Setelah mendapat kabar Mas Yuyung pergi, saya juga langsung menuju ke salah satu meja kecil di kamar. Di atasnya ada foto yang di-frame oleh istri saya. Itu foto termasuk paling penting dari koleksi yang kami punya. Itu foto pertama kami berdua, masih tahun 2000, waktu menghadiri sebuah acara nonton bareng balap Formula 1.
Foto itu, yang memotret, adalah Mas Yuyung.
Saya masih kurus, masih agak nge-punk. Rambut sudah tidak lagi warna-warni, tapi masih pakai anting kecil di telinga kiri dan mengenakan lensa kontak warna biru. Istri saya masih berambut lurus panjang.