Teman satu kamar?
Sejak umur 19 tahun –tidak lama setelah tamat SMA– Robert Long sudah tidak tinggal di rumah orang tua. Ia punya pacar. Ia pergi dengan sang pacar. Sampai tidak mau pulang. Ayahnya marah. Sang ayah minta anaknya pulang. Tidak mau. Sang anak pilih bersama pacar di negara bagian Kentucky –tetangga utara Georgia.
Akhirnya sang ayah melapor ke polisi. Agar anak itu bisa pulang. Berhasil.
Robert Long meninggalkan sang pacar. Tapi ia tetap tidak mau tinggal serumah dengan orang tua. Ia pilih tinggal di rumah penampungan –yang penghuninya adalah korban kecanduan narkoba atau minuman keras.
Long diterima tinggal di rumah penampungan itu karena mengaku kecanduan yang lain: seks.
Spa dan panti pijat adalah tempat yang selalu menggoda Long. Ia merasa lebih aman menyalurkannya di tempat seperti itu –daripada ke pelacur. Ia mengaku kepada temannya bahwa di spa itu sering hanya masturbasi di situ.
Rupanya Long merasa tidak bebas di rumah orang tua. Ia merasa terkekang. Kuota komputer dibatasi –sulit akses ke situs pornografi. Ia juga tidak punya HP –agar tidak ada akses ke situs dewasa.
Maka Long biasa ke panti pijat dan spa. Ia menjadi pelanggan di tiga panti pijat Asia tadi. Ia kenal baik lokasi itu sampai ke detailnya.
Tapi mengapa Long merasa sebagai anak yang berlumur dosa?
Itu karena Long dari keluarga yang taat beragama. Long sendiri saat SMA, adalah aktivis remaja di gerejanya. Yang selalu diajarkan moral dan dosa.
Robert Long sempat masuk universitas. Tapi hanya satu tahun –pilih drop out. Lalu mencoba beberapa pekerjaan, tidak sukses. Obsesinya selalu pada seks.
Baru itu yang terungkap. Masih begitu banyak misteri di baliknya. Termasuk kebencian ras tadi. (Dahlan Iskan)