Said Didu, sekretaris menteri waktu itu, membuatkan SK-nya. Saya juga minta saran Said Didu: siapa anak muda di PLN yang pintar, bersih, dan jujur yang bisa saya ajak diskusi rahasia untuk memilih calon direksi itu. Saya tidak kenal satu pun orang di PLN.
Syarat lain dari saya tidak sulit: tidak mau menerima fasilitas apa pun dari PLN. Tentu disetujui.
Di situ ada unsur ”diberi wewenang”. Otoritas.
Saya tidak tahu apakah dalam proses pengangkatan menteri kesehatan yang bukan dokter itu juga melewati dialog seperti itu.
Yang jelas, saya melihat tidak ada wewenang yang cukup yang diberikan kepada menteri kesehatan di tengah krisis ini.
Atau saya salah lihat, maafkan. Di atas menteri kesehatan dan tim khusus. Mungkin saking besar dan luasnya cakupan pandemi.
Padahal, ”kewenangan” dan ”tanggung jawab” itu menyatu dalam proses manajemen. Apalagi di tingkat leadership.
Misalnya: vaksinasi harus mencapai 70 persen di akhir Oktober 2021.
Apakah itu tanggung jawab menteri kesehatan atau tanggung jawab ketua tim apa itu?
Dalam doktrin manajemen, tidak ada yang namanya ”tanggung jawab bersama”. Harus ada satu orang yang bertanggung jawab: siapa.
Kelangkaan obat: tanggung jawab siapa.
Dan seterusnya. Lengkap dengan kewenangannya.
Kita sering melihat slogan di terminal bus: ”Kebersihan adalah tanggung jawab kita bersama”.
Toh tidak pernah bersih juga –dulu, entah sekarang.
Tidak ada lagi slogan dengan bunyi seperti itu di stasiun kereta api, sejak era Ignasius Jonan –karena tanggung jawab kebersihan ada di pribadi kepala stasiun itu sendiri. Stasiun pun bersih.
Memang bikin gemes: