Saya ingat sajak berjudul ”Alis” karya Raani Rasyad yang saya baca di Bima:
(foto halaman puisi)
Saking asyiknya perjalanan ini sampai saya lupa: belum memilih komentar-pilihan untuk Disway edisi besok paginya.
Tentu ada keasyikan lain yang juga lima ”I”: alam Sumbawa di musim basah seperti ini. gunung dan lembahnya hijau semua. Seperti lukisan. Rasanya tidak kalah dengan pemandangan di Selandia Baru. Saya lebih senang melihat yang Sumbawa ini: hijaunya memberi harapan. Itulah hijau tanaman jagung. Di lembah, di lereng, di bukit semuanya jagung.
Sepanjang lima jam dengan mobil berkecepatan 90 km/jam hanya ada jagung. Jagung. Jagung. Jagung.
Bukan main semangat rakyat Sumbawa menanam jagung. Banyak juga silo penyimpan jagung yang sudah dikeringkan.
Melihat semua itu imajinasi saya ke Iowa, bagian tengah Amerika Serikat. Lima jam mengemudi mobil di sana hanya pemandangan serba jagung yang terlihat.
Sumbawa mengalahkan Iowa itu - -indahnya. Di Iowa tanahnya datar. Everything flat. Sama sekali tidak punya bukit - -berbukitannya di rumah masing-masing.
Saya langsung ingat seorang bupati yang dua periode memegang kekuasaan di Dompu: HBY - -Haji Bambang Yasin. Entah di mana HBY sekarang. Bukan ia yang memulai, tapi HBY-lah yang mewabahkan jagung di sana. Ia mulai dari Dompu. Lalu menjalar ke seluruh Sumbawa.
Seorang bupati ternyata bisa meninggalkan sejarah yang hebat - -kalau mau.
Tak terasa hari sudah senja. Belum juga sempat membaca komentar mana yang akan terpilih. Juga belum menulis artikel untuk Disway.
Datang pula daya tarik lain Sumbawa yang ”mengganggu” pemilihan komentar: sapi.
Kian dekat Tambora alam Sumbawa berubah bentuk. Dari serba jagung ke padang rumput. Sepanjang jalan, hampir 1 jam perjalanan, saya hanya melihat sapi, sapi dan sapi. Di kanan dan di kiri. Terselip banyak kuda di tengah-tengah sapi itu.
Padang rumput, bukit, sapi, kuda dan pohon rindang di sana-sini.