Dua tahun kemudian saya rapat dengannya di perusahaan baru. Saya tanya ia: \"Masih mau kembali ke redaksi?\" tanya saya.
\"Tidak, tidak, tidak. Tidak mau,\" jawabnya. \"Ternyata saya bisa,\" tambahnya.
Begitu juga angkatan 45 lainnya.
Di tangan Margiono, Jawa Pos terus maju. Tapi banyak generasi unggul di angkatannya. Yang juga layak menjadi pemimpin redaksi.
\"Saya mau kalau ditugaskan memimpin koran baru di mana saja,\" katanya. \"Biar regenerasi di Jawa Pos terus bergilir,\" tambahnya.
Saya tahu alasan tersembunyinya: agar tidak terus di bawah bayang-bayang saya.
Mungkin juga karena ia mendengar bahwa saya baru saja dipanggil BM Diah, mantan menteri penerangan yang juga pemilik Harian Merdeka.
Pak Diah minta agar saya mengelola Merdeka yang lagi sangat sulit. \"Saya percaya dengan manajemen arek Suroboyo iki,\" kata Pak Diah mencoba mencampurkan Bahasa Jawa.
Waktu itu saya memang minta agar Pak Diah tampil di depan seluruh karyawan dan wartawan Merdeka. Agar beliau sendiri yang menjelaskan mengapa menunjuk saya –dan bukan ke anaknya sendiri.
Pak Diah pun mengumpulkan karyawan di rumah beliau. Di sekitar kolam renang. Dengan gaya pidatonya yang agitatif dan penuh humor. Pak Diah menguraikan alasan mengapa memilih saya.
Margiono pun pindah ke Jakarta. Ia memimpin Harian Merdeka yang hampir mati. Oplahnya, istilahnya, hanya satu becak –saking sedikitnya.
Mesin cetak koran itu juga sudah tua. Sudah sering batuk-batuk.
\"Kapan saya dibelikan mesin cetak modern?\" tanyanya pada saya.