Terima Kasih Arco Arena (Perpisahan sebelum Diruntuhkan)

Rabu 09-03-2022,00:00 WIB

Jadi, sudah ada beberapa tim yang merasakan Sacramento. Ada yang ke gedung Arco Arena itu (namanya sempat berubah jadi Power Balance Pavilion lalu Sleep Train Arena), ada yang merasakan gedung modern baru Sacramento Kings, Golden 1 Center.

Nah, tim DBL All-Star 2013 dan 2014 itu yang paling beruntung. Karena merasakan bertanding di dalam gedung NBA beneran.

Sebuah kebanggaan khusus bagi saya, membawa tim basket Indonesia merasakan atmosfer tempat saya dulu \"belajar\" memahami atmosfer dan pengelolaan pertandingan NBA.

Bersama tim DBL All Star 2014 berfoto di depan Sleep Train Arena.

Flash back dulu ke 1994, saat saya kali pertama ke Sacramento. Masih sekolah bahasa dulu sebentar, sebagai transisi SMA di Kansas menuju kuliah di Sacramento. Kebetulan, saya tidak pernah lulus SMA. Waktu berangkat dari Indonesia lulus SMP (kelas 9). Ketika pertukaran pelajar di Kansas itu, saya langsung diloncatkan ke kelas 11. Kemudian saya ke Sacramento, dan saat ambil tes kemampuan ternyata boleh langsung kuliah. Tapi harus ambil sekolah bahasa dulu beberapa bulan.

Saat sekolah bahasa itu, salah satu teman baik saya tinggal bersama keluarga angkat yang bekerja di Arco Arena. Jadi, kami sering dapat tiket nonton Kings gratisan. Kadang di atas sendiri, kadang dapat tempat bagus agak ke bawah. Tergantung situasi. Biasanya game-game yang penontonnya tidak penuh padat.

Ketika kami jadi room mate di apartemen sendiri, kebiasaan nonton kami lanjutkan. Kalau uang sedang mepet, ya beli tiket termurah. Harganya USD 10. Tidak dapat tempat duduk. Tapi disediakan \"petak bergaris\" untuk berdiri, di belakang kursi paling belakang, paling atas.

Pada 1996, kami juga menjadi saksi sejarah di situ. Nekat beli tiket mahal, nonton pertandingan playoff pertama dalam sejarah Sacramento Kings. Melawan Seattle Supersonics. Kaus playoff itu masih saya simpan sampai sekarang.

Jadi, saya penggemar Kings segala zaman. Mulai zaman susah yang dipimpin shooter Mitch Richmond, berlanjut ke awal era keemasan yang diawali Jason Williams dan Chris Webber. Dan terus fans sampai sekarang, walau sudah 15 tahun frustrasi Kings tak kunjung kembali ke playoff.

Arco Arena sendiri punya reputasi legendaris. Berkapasitas 17 ribu penonton, gedung ini dikenal paling riuh di NBA. Bahkan pada 2013 sempat mencatat rekor Guinness Book of World Records, penonton indoor paling berisik (mencapai 119,5 desibel).

Bisa Anda bayangkan bukan, betapa bangganya saya diwisuda di Arco Arena pada Desember 1999 itu. Saya mengenakan toga standar, tapi topinya saya warnai Kuning dengan strip hijau dan biru gelap, ala helm Ayrton Senna, pembalap idola saya sepanjang masa. Ada tali putih panjang dikalungkan, penanda lulusan dengan nilai di atas rata-rata (he he he... Sombong dikit).

Di balik toga, saya mengenakan kemeja dan jas. Tapi bawahannya jins bolong-bolong yang paling sering saya pakai kuliah. Sepatu skateboard merek Airwalk saya pakai. Itu sepatu murah, belinya hanya USD 19. Tapi itu sepatu penting buat saya. Karena selama kuliah, sejak krisis moneter Asia, saya bekerja jadi pelayan restoran dan cuci piring mengenakan sepatu itu.

Tags :
Kategori :

Terkait