DISWAY: Kakak Sofwati

Minggu 20-03-2022,00:00 WIB

Saya belum paham apa itu pembaharuan pemikiran Islam. Yang saya tahu kakak saya itu pintar sekali. Kalau debat tidak mau kalah. Ia seperti Srikandi. Tangkas sekali. Pemberani. Rok-nya paling pendek di antara orang di desa –kalau lagi pulang. Ketika masih SMA (Muallimat) seragam sekolahnya kebaya, jarit, dan kerudung –yang kerudungnyi  lebih sering jatuh ke pundak.

Yang saya benci padanyi: dia tidak mau ber-boso kromo inggil pada ayah. Kromo biasa pun tidak mau. Kalau bicara dengan ayah dia selalu pakai bahasa ngoko –seperti bicara pada teman. Itu tercela di desa kami. Kakak tidak peduli.

Saya juga tidak suka ini: waktu saya pulang dari mondok sebulan di Kaliwungu, dekat Semarang, ia memeriksa kitab kuning yang saya bawa pulang. \"Isi semua kitab ini bisa kamu pahami hanya dalam satu minggu, kalau bukunya berbahasa Indonesia,\" katanyi. Saya tidak pernah lupa kata-katanyi itu.

Tidak banyak lagi yang saya tahu tentang kakak saya itu. Begitu jarang bertemu. Saya asyik dengan masa kanak-kanak saya sendiri: sebagai penggembala kambing.

Begitu tamat madrasah Aliyah (setingkat SMA) saya menyusul kakak sulung ke Samarinda. Putuslah hubungan dengan kakak kedua itu.

Dari kakak sulung saya mendengar mbak Sofwati kawin dengan Mas Husein.

Di Samarinda saya kian terlibat di organisasi ekstra kampus. Ups, tidak saya sangka kakak kirim dokumen tebal lewat pos. Tumben. Saya buka kiriman itu. Isinya: materi pendidikan yang baru dia ikuti: pendidikan pers Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Saya disuruh masuk IPMI.

Diam-diam saya memang mengagumi kecerdasan dan keaktifan kakak saya itu. Saya pun bergabung ke IPMI. Lalu magang di media milik aktivis IPMI Samarinda, Alwi Alaydrus - -sekarang jadi ulama di Kaltim.

Suatu saat saya naik kapal laut: ikut pendidikan aktivis di Jawa. Sekalian mampir kampung, satu hari. Kakak senang saya menuruti keinginannyi masuk IPMI. Apalagi sudah magang di Mimbar Masyarakat Samarinda.

Kakak ternyata sudah punya anak:  satu, laki-laki. Namanya Andi. Saya gendong ia. Saya ajak main ia. Hanya satu hari.

Saya juga bertemu Mas Husein. Masih juga selalu membawa badik. Saya pun kembali ke Samarinda. Putus hubungan lagi.

Tags :
Kategori :

Terkait