DISWAY: Dokter Sumpah

Rabu 30-03-2022,00:00 WIB

Setelah itu, barulah organisasi –seperti Ikadin, Peradi, dan beberapa lagi– mengeluarkan kartu anggota.

Dengan mengantongi kartu anggota itu, mereka bisa mendaftar ke pengadilan tinggi setempat: untuk disumpah.

Tidak ada izin praktik. Yang ada pengucapan sumpah itu. Pengadilan tidak akan menerima pengacara yang belum pernah disumpah di pengadilan tinggi (tingkat provinsi).

Di IDI, keharusan rekomendasi itu, saya kira, untuk ”menjamin” dokter tersebut memenuhi kualifikasi sebagai dokter. Tapi, terutama, agar dokter mau mengikatkan diri pada kode etik. Lalu, mau untuk diawasi.

Kode etik –sesuai dengan namanya– bukanlah UU, peraturan, atau pasal-pasal dalam hukum. Kode etik adalah etika, sopan santun.

Orang di luar IDI –atau di luar anggota organisasi profesi apa pun– tidak boleh mengenakan ukuran sopan santun kepada mereka. Sopan menurut A belum tentu santun untuk B.

Karena itu, kode etik harus lahir dari kesadaran orang yang berprofesi. Lalu, merumuskan kesadaran tersebut secara tertulis: menjadi kode etik. Untuk ditaati semua anggotanya.

Kenapa seseorang yang berprofesi perlu punya kesadaran beretika? Kenapa tidak cukup hanya taat pada hukum dan peraturan?

Karena ini: seseorang yang berprofesi adalah orang yang punya otonomi pribadi untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan. Ia harus melakukannya biarpun dilarang oleh siapa pun –termasuk atasan. Sebaliknya, ia tidak mau melakukan tindakan itu biarpun diperintah atau dipaksa.

Orang yang mempunyai otonomi seperti itu cenderung ”maunya sendiri” –dan itu terbentuk dalam jiwa dan bawah sadar mereka. Kode etik adalah ”pagar diri”. Orang yang mengutamakan profesi akan menempatkan kode etik di atas UU dan peraturan.

Maka, IDI sebaiknya membuka saja: etika mana yang dilanggar Terawan. Kita yang di luar IDI tidak boleh ikut-ikutan. Kita sudah terlalu jauh: sampai ada yang mengaitkan IDI dengan MUI, kadrun, dan sebangsanya –menjadi isu politik, ideologi, bahkan SARA. Kita hanya akan menilai dalam hati: IDI fair atau tidak.

Tanpa penjelasan itu, kita tidak tahu: kode etik mana yang dilanggar berat oleh Terawan. Terkait praktik cuci otak? Atau Naksin Nusantara? Atau dua-duanya?

Dalam dua hal itu, Terawan bukanlah penemu ilmunya. Soal cuci otak, Terawan belajar ilmu itu secara khusus di California, Amerika Serikat. Yakni, kepada seorang profesor yang menemukan metode cuci otak di sana. Lalu, ia bawa ke Indonesia.

Tags :
Kategori :

Terkait