50 Tahun, Hutan di Provinsi Jambi Hilang 2,5 Juta Hektare
Banjir di Kerinci dan Sungai Penuh beberapa waktu lalu--
JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Bencana memang tidak tahu kapan datangnya, tetapi alam memberikan tanda-tandanya.
Bencana tegak lurus dengan pengrusakan lingkungan yang terjadi. Jika ditarik benang merah, kehadiran bencana di Jambi ini tidak lepas dari hilangnya tutupan hutan Jambi. Hutan yang menjadi resapan air terus mengalami degradasi.
Dalam analisis yang dilakukan KKI Warsi, sepanjang tahun 2023 terjadi pembukaan hutan dan lahan besar besaran di Jambi. Ini dapat terlihat nyata dari citra satelit sentinel 2 dipadukan pengamatan dari google earth, citra spot 6, SAS Planet.
Dari analisis yang dilakukan, terlihat areal terbuka terpantau seluas 160.105 ha di berbagai fungsi kawasan. Terbesar berada di APL dengan luas 51.904 ha, disusul di areal restorasi seluas 41.116 ha, HTI seluas 16.255 ha. Pembukaan hutan juga terpantau di kawasan Taman Nasional seluas 13.097 ha, dan Hutan Lindung seluas 1.725 ha.
“Tutupan hutan yang menipis, pengerukan sumber daya alam yang tidak taat aturan dipadukan dengan perubahan iklim yang mendatangkan hujan besar menjadikan terjangan banjir dan longsor di sejumlah wilayah,” kata Adi Junedi, Direktur KKI Warsi.
Dari data yang diolah tim GIS KKI Warsi, dalam kurun waktu 50 tahun Jambi telah kehilangan hutan sebanyak lebih dari 2,5 juta ha. Pada tahun 1973, tutupan Hutan Jambi masih tercatat 3,4 juta ha. Namun pada 2023 hanya tinggal 922.891 ha, atau kehilangan 73 persen.
“Kehilangan angka ini, pada awalnya disebabkan oleh perubahan kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain, untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit,” kata Rudi Syaf, Senior Advisor KKI Warsi.
Sementara itu, kawasan hutan yang masih tersisa sebagian diberikan izin konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan atau yang dulu disebut dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Alam (IUPHHA dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman Industri (IUPHHTI)
Sejak 2011, pemerintah Indonesia telah menyatakan sikapnya untuk melakukan moratorium (penghentian) terhadap penerbitan izin baru di kawasan hutan. Moratorium itu dilaksanakan setiap dua tahun.
Pertama melalui Perpres No.10 Tahun 2011, kemudian diperpanjang lewat Perpres No.6 Tahun 2013, Perpres No.8 Tahun 2015, dan terakhir Perpres No.6 Tahun 2017. Meski sudah ada moratorium izin baru persoalan pengelolaan hutan masih banyak tantangan.
“Pembukaan hutan dan lahan juga terpantau di daerah sempadan sungai. Hampir semua wilayah anak-anak sungai di Provinsi Jambi juga mengalami persoalan akibat aktivitas penambangan emas dengan menggunakan alat berat,” kata Rudi.
Dari analisis citra Satelit Sentinel 2 yang dilakukan KKI Warsi ditumpang tindihkan dengan peta perizinan pada tahun 2023 tercatat 48.140 ha lahan terbuka yang diindikasikan sebagai kawasan tambang emas. Dari angka itu, hanya 1.884 ha yang berada dalan wilayah pertambangan rakyat (WPR) sisanya 46.256 ha berada di luar WPR alias illegal.
“Keberadaan tambang di anak-anak sungai menyebabkan terjadinya sedimentasi atau aliran sungai menjadi dangkal. Ketika intensitas hujan tinggi, sungai tidak menampung,” katanya.
Selain itu, yang juga mencolok adalah tambang batu bara. Batu bara menjadi persoalan pelik di Jambi. Pada tahun 2023, terdeteksi pembukaan lahan untuk tambang batu bara 16.414 ha, dengan pembagian 6.127 ha berada dalam wilayah izin usaha pertambangan dan 10.287 ha berada di luar areal wilayah izin usaha pertambangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: