Penyisipan Bangunan dalam ‘Kawasan Pusaka’ Pasar Kota Jambi
--
Oleh: Ar. Denny Iwan Setyawan, MT., IAI
JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Kawasan Pasar merupakan bagian dari pusat kota lama dari Kota Jambi.
Setelah sejarah panjang dari era kesultanan dan peradaban sebelumnya, kota modern yang dibangun kolonial di area lekukan Sungai Batanghari ini berkembang pesat. Bahkan strukturnya juga bertahan hingga saat ini.
Dasarnya dari pola ruang yang mengikuti jaringan jalan, seperti yang terlihat dalam peta Kota Jambi tahun 1945 (koleksi Australia National Library) yang bisa dilihat di Gambar 1.
--
Perkembangan pesat pada era kemerdekaan setelah tahun 60-an, telah menjadikan kawasan ini sedemikian padat dan mengubah keseimbangan antara ruang terbangun dengan ruang terbuka.
Bangunan-bangunan ruko perdagangan yang berlomba-lomba memadati sisi terdekat jalan raya sebagai akses pasar, meninggalkan sisi sungai yang dahulu kala sebagai akses transportasi.
Meningkatnya densitas bangunan pada sisi jalan membentuk blok-blok dalam berbagai ukuran. Fenomena yang terjadi dalam istilah Henri Levebre, menampilkan kontradiksi antara dominansi dengan kelayakan (Levebvre, 1991).
Mengamati morfologi blok yang terbentuk, dijumpai beragam ukuran blok dengan karakter yang berbeda.
Pada beberapa blok sedang dan besar terbentuk pola hubungan yang unik. Ada simbiosis di antara fungsi utama ataupun antara fungsi utama dengan fungsi pendukungnya (support activity).
Keterkaitan terbentuk dengan penggunaan yang terhubung dan bahkan saling bergantung. Ketika fungsi utama atau fungsi yang berada dalam posisi strategis dalam blok mengalami kemunduruan atau kematian, berpengaruh kepada keseimbangan dalam blok tersebut (Setyawan, 2023).
Fenomena seperti itu di antaranya muncul tatkala matinya gedung-gedung bioskop dalam kawasan sebagai imbas dari monopoli perbioskopan di Indonesia.
Beberapa bioskop yang ada, antara lain President, Mega dan Ria ditutup. Hal ini tak hanya menandai berakhirnya era bioskop di Pasar yang telah hadir semenjak masa kolonial dengan “Djambi Theater”-nya, tapi lebih lanjut meninggalkan celah guna pada properti dimana semula bioskop tersebut berada.
Permasalahan yang muncul adalah tak hanya karena kosongnya properti namun dengan matinya guna yang ada, melemahkan hubungan antar guna yang dalam blok maupun dengan blok berdekatan.
Hal tersebut terlihat pada gedung Istana Anak maupun yang terjadi pada blok di mana Bioskop Ria semula berada.
Kekosongan guna pada properti, berupa gedung maupun lahan ini, sebagai kondisi yang diistilahkan building vacant, underdeveloped land maupun minor used only property (Development Lab, 2009).
Dari keadaan demikian memberi peluang bagi penyisipan bangunan (building infill) atau guna baru pada area. Pendekatan ini dari sisi revitalisasi urban maupun investasi ekonomi sering menjadi solusi terdekat yang diambil.
Namun jika ditarik kebelakang terkait pola hubungan dan pertautan fungsi yang telah terbentuk sebelum kemudian terputus atau merosot akibat guna utamanya mati, perlu pengkajian yang cermat.
Apalagi jika dikaitkan pada nilai pusaka (heritage) kawasan dan bangunan-bangunan yang ada.
Sebagai contoh kasus dengan implikasi kuat yang, bisa dilihat pada fenomena blok dimana Bioskop Ria sebelumnya eksis.
Secara morfologis bisa dilihat posisi gedung bioskop ini bisa dikatakan berada pada inti blok.
Di sekeliling gedung bioskop ini pada sisi samping dan belakang terdapat lorong dengan deretan toko dan fungsi penunjang berupa kedai-kedai kuliner.
Selain itu juga terhubung dengan lorong yang menjadi pasar khas dengan komoditas keramik, aneka tas dan aksesoris yang dikenal sebagai Pasar Sitimang.
Bisa dilihat bagaimana terhubungeratnya sisi dalam dari blok ini. Sementara sisi luar blok yang berupa ruko-ruko perdagangan, dengan komoditas dominan perhiasan emas di sisi barat maupun peralatan elektronik di sisi timur serta yang lain di utara, cenderung independen dengan akses langsung kepada koridor jalan kawasan.
Saat guna sentral pada inti masih aktif, maka pergerakan pengunjung pada lorong-lorong di dalam blok melalui empat pintu masuk yang ada menjadi lebih tinggi.
Sehingga memberi peluang langsung maupun tak langsung bagi tingkat penjualan komoditasnya. Ketika guna utama dalam blok mati, maka lingkup sekitar menjadi redup.
Untuk mengkaji secara morfologis bisa melalui dari tata guna dalam blok, orientasi bangunan dan sirkulasi serta pertautannya (linkage).
Dalam Gambar 2 bisa dilihat bagaimana zonasi guna pada blok yang sekaligus menunjukkan lapisan-lapisan pada blok yang karakteristik.
Kulit terluar merupakan deretan ruko dengan akses langsung kepada jaringan jalan dalam kawasan, antara lain Jalan Dr. Wahidin, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Dr. Sam Ratulangie dan Jalan W.R. Supratman.
Lapis kedua merupakan ruko yang menghadap ke lorong dalam yang merupakan bagian dari pasar keramik Sitimang dan perluasannya serta kedai-kedai kuliner di sisi timur.
Inti blok saat ini berupa lahan kosong bekas reruntuhan Bioskop Ria yang memberi peluang untuk menghidupkan kembali lapis ke-2 dan bahkan pada lingkup sekitarnya. Sehingga bisa terjalin kembali relasi simbiosis yang saling menguatkan.
--
Selain pola guna tersebut, bisa dilihat bagaimana pola pergerakan pedestrian dalam blok (Gambar 3). Terlihat bagaimana lorong-lorong dalam inti blok yang menghidupi toko-toko dan kedai yang berada di sisi dalam.
Semakin tinggi potensi pengunjung pada sisi dalam blok akan memberi peluang pasar yang lebih baik.
Dari sini bisa terlihat bagaimana bersarnya pengaruh inti blok, yang apabila di-analogi-kan berperan seperti jantung yang memompa darah bagi pembuluh yang berupa lorong-lorong dalam blok.
Dengan melihat bagaimana tata guna dalam blok, pergerakan dan pertautannya serta bagaimana kondisi terkini, maka ketika berbicara strategi revitalisasi kawasan melalui pendekatan level blok diperlukan suatu intervensi ruang, fungsi dan guna. Titik tekan yang tepat ada pada inti blok.
Untuk itu diperlukan ketepatan dalam meletakkan fungsi yang bisa disisipkan (infill). Fungsi dan rancangan arsitektur yang tepat akan menjadi katalisator bagi pembaharuan (renewal) dan revitalisasi blok.
Dari sisi fungsi, maka perlu dicari fungsi dan guna yang secara bisnis tidak bersaing dengan guna di sekitarnya.
Dengan pembedaan guna akan memberi peluang sinergi sebagaimana masa kejayaan kawasan ini dahulu, dimana lapis-lapis fungsi dan guna telah tumbuh sebagai dialektika historis urban.
Pembeda bisa dari komoditas barang atau jasanya, namun idealnya jika bisa memberi peran sosial, sehingga berperan ganda selain ekonomi namun menjadi sarana sosialisasi juga.
Hal ini mengingat permasalahan utama kawasan, yaitu gentrifikasi atau perginya penghuni dari dalam kawasan, sebagai kondisi yang membuat kawasan ini nyaris mati di malam hari.
Melalui guna yang baru ini sekaligus berperan dalam placemaking, menciptakan ruang urban yang aktif dan kreatif.
Kondisi yang diciptakan pada akhirnya akan meningkatkan nilai ekonomi kawasan, sekaligus sosial urban tentunya, dan membalikkan kondisi urban decline yang jika dibiarkan bisa menuju kematian kawasan.
Pendekatan urban plug-in menjadi bentuk strategi penyisipan dalam revitalisasi kawasan secara parsial blok maupun keseluruhan kawasan lama Kota Jambi ini.
Mengenai bagaimana strategi plug-in di atas diterapkan, perlu melihat kebutuhan dan potensi serta peluang bagi peningkatan vitalitas kawasan.
Kebutuhan urban pada skala blok, tak bisa lepas dari kebutuhan pada tingkat kawasan.
Secara kawasan permasalahan ruang publik yang menjadi hal penting adalah kebutuhan ruang publik, semenjak fenomena penguasaan secara masif ruang urban pada sisi koridor jalan, hilangnya ruang terbuka Wilhemina Park di utara R.S. Dr. Bratanata dan area bantaran Sungai Batanghari di utara kawasan.
Untuk bisa merealisasikan perlu melihat kepemilikan lahan di inti blok tersebut. Saat ini lahan masih milik privat, sehingga ada dua kemungkinan langkah strategi, yaitu lahan dibeli pemerintah kota untuk dipergunakan sebagai ruang publik sekaligus ruang hijau.
Model ini memberi “oase” hijau yang dapat meningkatkan kohesi sosial yang penting dalam skenario repopulasi.
Disamping itu akan meningkatkan kualitas lingkungan hidup kawasan. Kenyamanan yang diciptakan dengan sifat yang inklusif memberi keuntungan bagi aktivitas ekonomi di sekitarnya.
Arus pergerakan di lorong-lorong sisi dalam blok juga menjadi lebih hidup.
Pada model yang lain adalah jika kepemilikan tetap bersifat privat, bisa menggunakan model pengembangan multilayer dengan memberikan lantai dasar keterbukaan yang cukup secara visual maupun bagi spasial pergerakan untuk menciptakan pertautan (linkage) visual dan fisik.
Pengembangan lantai dasar ini bisa menjadi ruang publik yang dipersembahkan prifat secara penuh ataupun pada jangka waktu tertentu dalam sehari maupun sebagian saja dari ruang lantai dasar yang dimiliki.
Keberadaan ruang yang inklusif di lantai dasar ini secara ekonomi tetap bisa dimanfaatkan, misalnya untuk kafe, creative hub ataupun fungsi lain yang memadukan nilai ekonomi dengan sosial.
Peluang lain diciptakan dengan mengembangkan aksesbilitas di layer atas properti (tingkat 2, 3 maupun roof top) dengan akses yang baik, misalnya dengan ramp ataupun dengan membuka peluang hubungan langsung model skybridge dengan properti di sekitarnya.
Inovasi ini sekaligus memberi nilai tambah pada tingkat-tingkat atas ruko di sekitarnya yang saat ini sudah mati. Kurang lebih ini serupa dengan model Skywalk Teras Cihampelas yang dikembangkan di Bandung.
Pendekatan-pendekatan yang bersifat inovatif dan terbuka diharapkan menjadi jalan untuk mengembalikan vitalitas blok dan kawasan, bahkan lebih jauh memberi peluang bagi sustainabilitas kawasan di masa mendatang.
Kesalahan dalam infill guna, fungsi maupun bangunan (built environment) bisa memperburuk keadaan bahkan mempercepat kematian bagian-bagian dalam blok.
Keberadaan properti-properti yang dimiliki pemerintah kota juga merupakan potensi untuk bisa menjadi katalisator pembaharuan urban dan revitalisasi dengan penciptaan guna dan peluang pergerakan yang membuka aksesbilitas yang baru.
Model-model bisnis baru yang kreatif bisa hadir ketika ruang kreatif diciptakan dengan inovatif.
Demikian harapan untuk mempertahankan peninggalan kawasan pusaka kota dengan historis yang telah meninggalkan berlapis jejak memori kolektif warga dan identitas tempat yang kuat bisa diwujudkan dengan pendekatan yang berpihak kepada sustainabilitas.
Pelestarian pusaka dan lingkungan hidup tidak mesti bertentangan dengan nilai ekonomi, bahkan sebaliknya dengan pendekatan tersebut menjadikan suatu nilai tambah.
Kondisi demikian melahirkan apa yang dinamakan ekonomi sirkular.
Identitas dan historis kota adalah jiwa kota yang jika diabaikan bahkan dihilangkan akan menjadikan kota yang hilang ingatan. Kota yang kering tanpa kenangan adalah kota terburuk untuk ditinggali. karena kota bukan sekedar fisik dan infrastruktur, namun jiwa yang hidup. (*)
Penulis adalah:
Ketua Badan Pelestarian Arsitektur Ikatan Arsitek Indonesia (PN IAI)
Dosen Prodi Arsitektur Universitas Adiwangsa Jambi (Unaja)
Wakil Ketua Komite Ekraf Jambi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: