Jangan Ada Lagi Perundungan (Bullying) Anak

Jangan Ada Lagi Perundungan (Bullying) Anak

--

Oleh: Refy Gabriella Vanesa, S.Psi


Perundungan sangat merusak psikis anak dan benamkan kualitas generasi penerus bangsa. Jika tidak ada langkah nyata yang terpadu untuk mencegah dan menanggulangi perundungan anak, satu abad Indonesia tahun 2045 dimana anak-anak saat ini akan menjadi penerus estafet kepemimpinan dan pembangunan, akan kehilangan kualitas dan daya saing.


Fenomena Bullying (perundungan) saat ini telah marak terjadi di Indonesia. Bullying dapat terjadi tidak hanya di lingkungan rumah dan kantor, namun bisa terjadi di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan universitas. Hal tersebut juga menjadi gambaran bahwa Bullying dapat terjadi kepada siapa saja, terutama pada anak-anak hingga remaja. Maraknya kasus perundungan anak memantik keprihatinan mendalam, apalagi kita baru saja memperingati Hari Anak Nasional pada 23 Juli. Kondisi ini juga mengirimkan pesan kepada publik bahwa perlindungan terhadap perundungan anak di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Baru-baru ini kasus Bullying (perundungan) semakin membuat hati menjadi pilu dan membara, seorang siswa SD di Banyuwangi ditemukan mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di rumah karena merasa tidak kuat menahan bully yang dilakukan oleh teman sebayanya hanya karena ia tidak mempunyai ayah.

Beredar juga video yang diunggah di media sosial (YouTube) saat seorang siswi SD di Bukit Tinggi yang tidak berdaya menerima kekerasan fisik dari teman-temannya, tampak di video tersebut beberapa siswi yang seolah menikmati penyiksaan yang mereka lakukan karena mereka tertawa dengan bangga menghadap kamera setelah melakukan atau menyaksikan pemukulan kepada korban. Kasus lain, siswa SMP di Temanggung yang nekad melakukan pembakaran sekolahnya lantaran ia sudah enam bulan dibully seperti dikeroyok oleh kakak kelas dan teman satu kelas, serta menerima perlakuan tidak menyenangkan oleh salah satu oknum guru yang seharusnya memberikan perlindungan di sekolah, namun malah menaruhh luka di hati siswanya.

Perilaku Bullying merupakan sebuah situasi dimana telah terjadi penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh satu orang ataupun kelompok (Sejiwa, 2008:2). Bullying dilakukan secara terus-menerus oleh pihak-pihak yang merasa dirinya lebih kuat dengan tujuan membuat korban menderita serta tidak berdaya dan mereka berdalih bahwa yang mereka lakukan hanyalah “sebuah candaan belaka”.

Menurut Psikolog Andrew Mellor, ada beberapa jenis bullying yang sering terjadi yakni: (1) Fisik, merupakan jenis bullying yang melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban seperti memukul, menendang, meludahi, mendorong, memaksa korban melakukan ativitas fisik tertentu, merusak barang milik korban, dan lain-lain. Bullying fisik dapat langsung terlihat dan disadari oleh lingkungan sekitar;

(2) Verbal, sebuah tindakan bullying yang sulit diamati karena melibatkan bahasa verbal yang menyakiti hati seseorang seperti mengejek, memberi nama julukan yang tidak pantas, memfitnah, melecehkan melalui pernyataan seksual, meneror, dan lain-lain;

(3) Relasional, merupakan tindakan bullying yang sulit ditangkap oleh mata dan telinga, seperti memandang seseorang sinis/penuh ancaman, mengucilkan seseorang, mendiamkan dan mengakhiri hubungan tanpa alasan, dan lain-lain. Biasanya hal ini terjadi karena munculnya situasi dimana kelompok tertentu berseberangan dengan kelompok ataupun individu lain;

(4) Elektronik/Cyberbullying, perilaku bullying yang dilakukan melalui media elektronik seperti computer, handphone, internet, website, chatting room, email, sms, dan lain-lain. Biasanya kebanyakan dari pelaku cyberbullying bersembunyi di balik alasan “hanya sekedar opini”.

Berdasarkan Pusat Data dan Informasi, hingga 31 Maret 2023, KPAI telah menerima 64 aduan dengan rincian kekerasan terhadap anak pada satuan pendidikan, yakni meliputi kekerasan fisik, bullying, kekerasan seksual, korban diskriminasi kebijakan satuan pendidikan, hingga kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperhatikan prinsip hak partisipasi anak. Hal ini menjadi perhatian yang harus kita sikapi bersama demi melindungi, mengurangi, dan menghentikan perilaku bullying yang kerap diterima maupun dilakukan oleh anak-anak yang merupakan penerus bangsa, karena dampaknya sangat beragam, salah satunya ialah dampak psikologis.

Biasanya para korban bullying merasa bingung, tidak berdaya, malu, putus asa, dan takut untuk mengungkapkan hal yang terjadi pada diri mereka sehingga para korban memilih untuk diam dan menyimpan sendiri pengalaman tidak menyenangkan tersebut.

Para korban cenderung merasa bingung bagaimana cara untuk mengungkapkan perundungan yang terjadi karena tidak memiliki bukti, berpikir tidak ada orang yang peduli akan apa yang mereka alami, atau merasa tidak ada yang bisa menolong untuk menghentikan perundungan tersebut karena takut jika mereka melaporkan situasi yang terjadi, maka pelaku bullying akan melakukan hal yang lebih menyeramkan di kemudian hari.

Anak-anak yang menjadi korban bullying akan cenderung sulit berinteraksi dengan orang lain, menurunnya prestasi, kehilangan kepercayaan diri, kesehatan mental yang terganggu seperti memiliki gangguan kecemasan, gangguan tidur, gangguan emosi, trauma, keinginan untuk membalas dendam, depresi dan akan muncul kemungkinan para korban melakukan tindakan yang menyakiti diri mereka sendiri (self harm), bahkan mengakhiri hidup (suicidal thought/attempt) seperti kasus-kasus yang telah terjadi.

Sementara anak-anak yang menjadi pelaku bullying akan terperangkap dalam peran yang ia “nikmati dan senangi” sehingga mereka tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, tidak memiliki empati, beranggapan bahwa mereka disukai dan disegani, bahkan berpikir bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika kita terus menutup mata dan telinga terkait hal ini, maka dapat menimbulkan kenakalan-kenalakan lain di masa yang akan datang. Maka, langkah preventif harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan perilaku bullying ini.

Dibutuhkan kolaborasi, inisiasi, dan peran orang dewasa (orang tua, guru, pengasuh, dll) dalam mencegah terjadinya bullying di sekolah maupun di rumah. Edukasi kepada anak-anak sedari dini terkait perilaku bullying yang disesuaikan dengan rentang usia perlu diberikan agar anak mengetahui dampak yang akan terjadi apabila mereka melakukan perbuatan bullying, juga edukasi terkait apa yang harus dilakukan jika menjadi korban bullying.

Edukasi bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung seperti melakukan kunjungan ke sekolah oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang, membuat poster terkait bahaya perilaku bullying, dan memberikan pendampingan saat anak-anak menyaksikan acara yang memperlihatkan perilaku-perilaku kekerasan yang kemungkinan akan mereka contoh di kehidupan.

Selain itu, guru dan orang tua perlu belajar memberikan validasi emosi, simpati, dan empati kepada anak-anak yang menjadi korban agar mereka merasa aman dan nyaman untuk bercerita tentang kegiatan yang mereka lakukan setiap harinya. Terkadang, karena kelelahan akibat aktivitas di kantor yang padat atau banyaknya jumlah murid di sekolah (bagi para guru), membuat kita orang dewasa tidak aware terhadap perilaku anak yang berubah. Kita menjadi sulit meluangkan waktu untuk sekedar bertanya dan mendengarkan cerita anak.

Guru dan orangtua harus belajar untuk menjadi “telinga” bagi anak-anak dengan cara mendengarkan keluh kesah anak tanpa memotong pembicaraan, tidak menilai dan menghakimi dari sudut pandang orang dewasa, serta yang paling penting adalah berusaha “hadir dan menyimak” saat mereka mengungkapkan apa yang dirasa.

Melakukan eye contact selama proses diskusi berlangsung, memberikan sentuhan hangat kepada anak, serta merespon cerita mereka dengan antusias (apapun ceritanya). Hal ini menumbuhkan keyakinan pada diri anak bahwa ia memiliki support system yang akan selalu ada untuk mereka. Terakhir, Pemberian sanksi dan aturan yang tegas, adil, dan bijak mengenai tindakan bullying di lingkungan sekolah perlu digaungkan dan dilakukan agar menimbulkan efek jera bagi para pelaku, dengan harapan dapat menguubah pola pikir dan tingkah laku mereka menjadi lebih baik.

Kerja sama dari seluruh pihak (orangtua, keluarga, sekolah, lingkungan, dan pemerintah) dalam memberikan perlindungan kepada anak, penulis optimis kita dapat mewujudkan Anak Indonesia Generasi Emas Tahun 2045. Menciptakan generasi yang cerdas, sehat, unggul, berkarakter, dan dalam suka cita yang bersendikan pada nilai-nilai moral yang kuat. Mari bersama-sama mewujudkan lingkungan yang aman dan nyaman untuk anak, sehingga dapat menghentikan/menghindari kekerasan pada anak dan berharap anak-anak Indonesia kedepannya lebih berani memperjuangkan dan menyuarakan hak-hak mereka. Anak Terlindungi, Indonesia Maju.

*Penulis adalah Staf Subbagian Komunikasi Pimpinan Biro Adpim Setda Provinsi Jambi, lulusan Sarjana Psikologi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: