Harga Batu Bara Terbirit tapi Negara Tetap Cuan Rp68,7 Triliun, Sri Mulyani Bocorkan Kuncinya

Harga Batu Bara Terbirit tapi Negara Tetap Cuan Rp68,7 Triliun, Sri Mulyani Bocorkan Kuncinya

Ilustrasi batu bara-Foto: Jambi Ekspres-

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP dari batu bara ternyata masih membuat negara RI cuan.

Batu bara merupakan pendapatan SDA non migas yang pertumbuhannya signifikan tahun ini, Mei tahun 2023 mencapai Rp 68,7 triliun naik dua kali lipat lebih dari Mei 2022 yang hanya Rp 31,7 triliun.

Kata Sri Mulyani, kenaikan PNBP ini bukan karena harga batu bara naik. “Karena kalau anda lihat harga batu bara kan sebetulnya turun cukup signifikan,” ujar Sri Mulyani Senin (26/6) saat konferensi pers.

Lantas apa penyebabnya? Karena penerapan PP 26 Tahun 2022, kata Sri Mulyani. PP ini memberlakukan harga batu bara acuan (HBA).

Seperti kita ketahui, PP ini telah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun lalu.

Tarif royalti yang ditetapkan dalam PP ini menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan regulasi sebelumnya. Jika sebelumnya tarif royalti maksimal 7 persen, sedangkan di aturan baru naik menjadi 13,5 persen.

Dalam PP 26/2022 yang diteken Jokowi pada 15 Agustus 2022 itu, pemerintah juga menetapkan royalti untuk tingkat kalori <4.200 Kkal/kg untuk harga batu bara acuan (HBA) kurang dari US$70 dipatok 5 persen dari harga.

Sementara untuk HBA lebih dari US$90, royalti yang ditetapkan yaitu 8 persen dari harga. Untuk batu bara dengan kalori lebih dari 4.200-5.200 Kkal/kg dengan HBA kurang dari US$70, pemerintah mematok royalti 7 persen dari harga pasar.

Adapun, HBA yang lebih dari US$90, maka iuran yang dipatok adalah 10,5 persen dari harga.

PP ini juga mengatur sesuai dengan tingkat kalori, jika tingkat kalori lebih dari 5.200 Kkal/kg dengan HBA atau kurang dari US$70 royalti yang ditetapkan adalah 9,5 persen dari harga’

Sedangkan untuk batu bara pada tingkat kalori ini dengan HBA lebih dari US$90 maka royalti yang dikenakan adalah 13,5 persen dari harga.

"Jadi bukan karena harga batu bara naik,” lanjut Sri Mulyani lagi.

Ia juga menyampaikan hingga 31 Mei 2023, realisasi PNBP telah mencapai Rp 260,5 triliun. Angka ini naik 16,2% dari realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya Rp 224,2 triliun.

"Realisasi PNBP masih naik cukup sehat 16,2% yoy mencapai Rp 260,5 triliun," lanjutnya.

PNBP pada tahun ikut dipengaruhi oleh tekanan pada pelemahan harga-harga komoditas.

Tercermin dari pendapatan sumber daya alam (SDA) minyak dan gas bumi (migas) yang turun hanya sebesar Rp 51,1 triliun dari penerimaan pada 2022 yang mencapai Rp 62,9 triliun.


PNBP juga ikut dipengaruhi oleh SDA terutama komoditas, fenomena yang terjadi SDA migas koreksi karena harga minyak turun.

PNBP lainnya yang meningkat adalah setoran dividen BUMN. Setoran deviden BUMN ini adalah kekayaan negara yang dipisahkan (KND).

Hingga akhir Mei 2023 KND dari BUMN sebesar Rp 41,7 triliun, naik hingga 66,1% dari catatan Mei 2022 yang hanya Rp 25,1 triliun.

Sementara itu, PNBP lainnya malah turun sebesar, pada Mei 2022 sebesar Rp 70,4 triliun menjadi hanya Rp 69,6 triliun tahun ini. “Disebabkan penurunan penjualan hasil tambang (PHT),” lanjut Sri Mulyani.

Untuk PNBP yang berasal dari badan layanan umum turun 13,5%, dari Mei 2022 sebesar Rp 34,1 triliun jadi Rp 29,5 triliun pada 2023.

Lantas bagaimana dengan harga kelapa sawit yang juga turun tajam, posisi BLU bagaimana?. “Yang kelapa sawit terkoreksi dalam sehingga penerimaan hanya Rp29 triliun, turun 13% dari tahun lalu," tegas Sri Mulyani lagi. (dpc)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: