Harga Kelapa Sawit Sebenarnya 3.500/kg, Tapi Gegara DMO Tinggal Rp2.500. Apa itu DMO?

Harga Kelapa Sawit Sebenarnya 3.500/kg, Tapi Gegara DMO Tinggal Rp2.500. Apa itu DMO?

kelapa sawit Foto : dok asianagri.com--

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Harga kelapa sawit di tingkat petani sebenarnya bisa mencapai harga yang lebih tinggi dari yang terjadi sekarang. 

 

Namun kenyataannya harga sawit yang diraih petani terus tertekan. Gegara apa? Karena ada pungutan dan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang harus dipenuhi. 

 

Demikian dikatakan Anggota Komisi XI DPR RI, Bertu Merlas di Gedung Nusantara I, Senayan, Rabu (15/2). Harga awal tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dinilai Bertu harusnya bisa mencapai level yang lebih tinggi jika tidak ada pungutan dan kebijakan DMO. 

 

BACA JUGA:Mantap! Harga Kelapa Sawit Jambi Naik Rp 32,77/Kg, Berikut Rincian Harganya

 

“Saya pernah dapat hitungan, bahwa tanpa DMO harga kelapa sawit itu Rp 3.500/kg kalau dengan DMO tinggal Rp 2.500, jadi kurang lebih ada selisih RP 1.000,” lanjut Politisi Fraksi PKB ini dikutip dari rilis dpr.go.id.

 

Lanjut Bertu, jika tidak ada pungutan DMO maka mungkin harga sampai level petani itu bisa lebih tinggi dari yang terjadi sekarang di lapangan. 

 

Apa itu DMO?

 

Bertu menegaskan DMO merupakan ‘alat’ untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng. Sayangnya kebijakan tersebut tak pandang bulu sehingga berimbas besar pada petani kecil

 

“DMO itu untuk apa? untuk stabilisasi harga minyak goreng. Artinya petani tidak ini peduli (tidak memandang kategori petani), ini petani yang ribuan hektar, ratusan ribu hektar, maupun petani yang 2 hektar (atau) 1 hektar misalnya petani kecil. itu semuanya nge-charge setiap kilogramnya untuk subsidi minyak goreng itu Rp1.000 dari yang dihasilkan,” lanjut Legislator Dapil Sumatera Selatan II di Gedung Nusantara I, Senayan, Rabu (15/2/2023).

 

Dari sudut pandangnya, hal ini membuat para petani dengan lahan yang kecil terbebankan. Para petani kecil ini memiliki kapasitas produksi yang tak besar dan pendapatan yang terbatas namun para masih harus menanggung dampak kebijakan DMO. 

 

“Nah ini (mohon) keadilan Pak bagi para petani yang kecil yang 1 hektar (atau) 2 hektar yang dia cuma produksi 1 (atau) 2 ton per bulan misalnya. Nah ini artinya mereka mensubsidi minyak goreng itu sebesar Rp2.000.000,” tutup Anggota Badan Anggaran DPR RI itu. 

 

Pada bulan Februari 2022 pemerintah menetapkan kenaikan DMO sebesar 50 persen hingga April mendatang. Angka ini menaikan DMO sebelumnya dari 300 ribu ton menjadi 450 ribu ton olahan kelapa sawit (CPO, olein dan minyak goreng) ke pasar lokal. Hal tersebut kemudian memberikan dampak dan tekanan bagi harga tandan buah segar sawit di tingkat petani. 

 

Melalui kebijakan DMO ini eksportir bahan baku minyak sawit perlu memasok setidaknya 20 persen dari total volume ekspor untuk pemenuhan pasar dalam negeri. Dengan harga dalam negeri yang lebih rendah dari harga dunia, maka pabrik pengolahan kelapa sawit ikut menekan petani guna mendapatkan bahan baku yang lebih rendah pula. Hal tersebut yang kemudian menjadi permasalahan di tingkat petani sawit. 

 

Oleh karena itu, Bertu Merlas meminta Kementerian Keuangan, dalam hal ini Dirjen Anggaran untuk memberikan perhatian kepada harga kelapa sawit yang tertekan oleh kebijakan DMO. Ia menilai harga awal tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di level petani bisa mencapai harga yang lebih tinggi bila tak ada pungutan dan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang harus dipenuhi. (*)



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: