Nona Teh & Tuan Kopi

Nona Teh & Tuan Kopi

Ari Hardianah Harahap--

“Say Goodbye to draf tidak jelas terakhir hehe :D”

>>>***<<<

Amsterdam, 2020

Alunan musik natal menemani akhir tahun di seluruh penjuru kota Ansterdam. Tungku – tungku kayu di perapian pun mulai dinyalakan untuk menghangatkan setiap rumah. Lampu natal pun menghiasi setiap pohon yang berdiri tegap sepanjang jalan kota Ansterdam. Salju pun mulai turun, jejak – jejak kebahagian mulai memancar dari setiap orang yang merayakannya. Tinggal beberapa detik lagi, hitungan mundur puncak perayaannya pun telah tiba. Euphoria kebagaian disekitar pun mulai terasa, buncah sudah suasana yang ada. Namun, kebahagian itu tidak ada dalam diri seorang Jason.

Jason Algebra, Pemusik yang terkenal akan setiap melodi yang ia lantunkan. Di sudut Kafe di tengah perayaan Natal, dirinya hanya duduk termenung dengan secangkir kopi yang menemaninya sepanjang hari ini. Bahkan tak tampak sedikitu pun keinginannya untuk beranjak dari Kafe tersebut, pemandangan ramainya kendaraan yang hilir mudik seolah sebuah tontonan film yang amat menarik baginya.

“Tring”

Suara lonceng yang digantungkan di depan pintu Kafe menandakan adanya pelanggan baru yang datang. Seorang wanita dengan sebuah jaket musim dingin yang amat tebal dan beberapa sisa salju yang dari luar yang terbawa olehnya. Jaket tersebut amat tampak besar di tubuhnya yang mungil dan menutupi wajahnya, bahkan wanita tersebut tampak sedikit kesulitan membuka jaket tebalnya. Aneh, untuk pertama kalinya Jason amat tertarik untuk memperhatikan seorang wanita, bahkan wanita tersebut sama sekali tak ia kenali.

Pandangan Jason terus tertuju pada wanita yang masih berusaha membuka jaket tebalnya dan lepas sudah sepenuhnya jaket tebal tersebut dari tubuh wanita mungil itu. Matanya bulat, jernih, dengan iris hitam yang pekat. Wajahnya amat manis dengan hidung mancung dan bibir mungil yang pink belum lagi pipi yang sedikit berisi membuat wanita tersebut tampak imut di mata Jason. Setiap langkah dari wanita tersebut ia lihat dengan seksama, belum lagi ada dua lesung pipit di pipinya saat ia tersenyum.

Jason masih mengamati wanita tersebut hingga pesanan wanita tersebut datang. Sebuah teh hangat dengan mint yang kental. Setelah mendapat pesanannya wanita tersebut pun beranjak meninggalkan kafe dengan mata Jason yang masih terus mengamatinya. Hingga Jason mendapati wanita tersebut berdiri di samping lampu jalan dengan senyum yang merekah saat salah satu tangan wanita tersebut menyentuh salju yang turun. Melihat senyum itu Jason pun turut tersenyum, ia menikmati setiap kegiatan yang dilakukan wanita tersebut. Hingga ia melihat, senyum wanita itu menghilang ketika wanita tersebut memandangi sebuah keluarga yang keluar dari gereja seberang jalan. Kepala wanita tersebut mulai tertunduk dan senyum yang ia perlihatkan bukan lagi senyum kecerian melainkan sebuah senyuman miris.

Jason tidak tau bagaiman cara ia mengendalikan dirinya sendiri. Tiba – tiba dirinya beranjak dari kafe dan pergi menemui wanita tersebut, otaknya menyuruh untuk tetap diam dan hanya mengamati wanita tersebut tapi kakinya terus saja berjalan. Tentu saja Jason tahu, kali ini ia tidak sedang menggunakan otaknya melainkan hatinya. Dan sekarang berdirilah ia di samping wanita tersebut dengan sebuah coffe late di tangannya.

“Coffe Latte ?” Tawar Jason. Wanita tersebut memadangi Jason bingung, sedangkan Jason hanya mampu terdiam melihat respon bingung wanita tersebut. Dan keterdiaman Jason berkahir dengan sebuah senyum tulus yang diberikan wanita tersebut.

“Thanks, I Have a Tea Mint,”Ucap Wanita tersebut dengan senyum manis. “My name is Nayla, what your name sir ?” lanjut Nayla dengan sebuah pertanyaan. Nayla, wanita yang diamati Jason dalam beberapa waktu terakhir.

“Jason, Jason Algebra. Without sir. Please just call me my name, Jason.” Ucap Jason dengan ekspersi wajah yang amat lucu menurut Nayla. Nayla tertawa pelan dan mengangguk merespon ucapan Jason.

Malam ini, merupakan malam yang teramat singkat untuk pertemuan Jason dan Nayla. Sepanjang malam mereka menghabisakan waktu untuk berbicara di pinggir jalan. Lampu jalan dan Kafe serta kesunyiaan itu menjadi saksi dimana Kisah Jason dan Nayla di mulai, dan menjadi Saksi dimana seluruh perjuangan melawan takdir yang dilakukan Jason dan Nayla untuk bertahan tetap bersama.

Dua tahun, sebelas bulan, dua puluh Sembilan hari sudah Nayla dan Jason bersama memperjuangkan takdir semenjak malam itu. Masih dengan tempat yang sama, di pinggir jalan di samping lampu jalan dan di depan Kafe yang menjadi saksi pertemuan mereka Nayla dan Jason berdiri berdampingan. Malam ini akan jadi malam natal ketiga Jason bersama Nayla dan mungkin juga malam natal terkahir Jason bersama Nayla.

“Apa kita benar akan mengakhiri ini ?” Tanya Jason menununduk.

“Ya, mari nikmati mala mini dengan suka cita Jason. Malam ini malam natal berbahagialah.” Jawab Nayla dengan sebuah senyum yang menenangkan.

“Nayla, apakah kau tidak ingin mempertimbangkan lagi. Kita tetap bisa bersama dengan perbedaan itu. Itu tidakalah masalah bagiku.” Ucap Jason sambil menggenggam tangan Nayla erat yang terbungkus sarung tangan untuk mengahalunya dingin.

Nayla tersenyum sendu mendengar penuturan Jason, dan sedikit menghela nafas dengan kekeras kepalaan Jason yang ingin tetap bertahan bersamanya.

“Jason, dengarlah. Perbedaan dalam diri kita bukanlah hal yang main main. Agamaku adalah hal yang aku pegang teguh, agamaku adalah jembatan kehidupanku. Begitupula dengan dirimu, agama mu adalah dasar hidupmu hingga kini. Aku tidak ingin berpaling dari agamaku, begitu pula dengan dirimu. Percayalah, jika nanti takdir benar benar ingin kita bersatu, di setiap Aamiin dalam tadahan tanganku dan di setiap Aamiin dalam gengaman tanganmu akan menjadi Aamiin yang satu dalan satu cara yang sama nantinya. Kau hanya harus percaya.” Jelas Nayla pada Jason. Jason yang mendengarkan penjelasan Nayla pun hanya diam. Satu satunya hal yang ia sesali sedari dulu sebelum dirinya mengenali Nayla adalah kerudung Nayla yang menutupi kepalanya. Seharusnya Jason tau sedari ia pertama kali bertemu dengan Nayla dan kerudung yang Nayla pakai kala itu.

Jason hanya mampu menatap Nayla yang kini juga tertunduk letih akan semuanya, kali ini saja Jason amat memohon kepada tuhan. Tolong satukan dirinya dengan Nona Teh yang kini sedang berdiri di sampingnya. Dan dilain sisi permohonan Nayla pun tak berbeda jauh kepada tuhannya, tolong satukan dirinya dengan Tuan Kopi yang berdiri di sampingnya kala ini dalam satu Aamiin yang sama.

Malam itu hanya semilir angina yang menjadi perantara hati masing – masing dua Insan yang melantunkan doa yang sama dalam hatinya. Bertlalu – talu berteriak melawan takdir namun tak dapat berkutip saat takdir sudah menjalankan waktunya kala sebuah perpisahan itu nyata adanya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait