Oneshoot: “Our Fantasy?”

Oneshoot: “Our Fantasy?”

Ari Hardianah Harahap--

“Jangan nuntun apapun, soalnya kehabisan ide itu bagian sulit yang nggak ada jalannya buat didatengin, ya kalo buntu ya buntu.”

-People in this world-

Derap langkahku semakin cepat, nafasku memburu tak karuan. Gelap, tak ada sedikitpun remang cahaya yang dapat menyinariku saat ini, sinar rembulan yang menjadi harapanku satu satunya sebagai penerang jalan juga turut menghilang di telan kegelapan, seolah alam juga berseru padaku, mendukung sang ajal agar menjemputku malam ini.

Kakiku seakan mati rasa, tapi aku tak bisa berhenti saat ini jika ingin melihat matahari esok hari. Tubuhku lelah, remuk seakan tulang belulang yang tersusun di dalamnya meronta – ronta untuk beristirahat, tak lagi dapat menopang tubuhku.

Mataku panas saat semakin cepat ku langkahan kakiku setelah mendengar ada derap langkah lain yang tak kalah cepat atau bahkan jauh lebih cepat dari kecepatanku saat ini. Aku sadar tubuhku telah melewati batas maksimal diriku untuk bertahan. Berakhir disinikah perjuanganku, haruskah aku menyerah ? Tidak, tidak untuk saat ini sebelum aku tahu apa maksud semua ini.

Semakin lama langkahku semakin pelan, mataku semkin berat seakan berton ton besi menggantung, memintaku untuk menutup mataku, selain itu rasa panas juga mulai menjalar di sekitar pelupuk mataku. Langkah lain yang berada di belakangku tak lama lagi pasti akan berhasil menyusulku, tunggu bahkan aku mendengar langkah lain dari depan, kiri dan kananku. Shit, aku dikepung.

Saat ini, aku telah mencapai batas paling akhir dalam diriku, diriku jatuh di tanah yang saat ini ku injaki, rasa panas yang menjalar di mataku kini semakin panas beruarai air mataku, air mata letih, lelah, senang, semua bercampur aduk menjadi satu. Gelap mulai menghampiriku, tetapi ia tak merenggut penuh kesadaranku, samar samar masih kudengar langkah – langkah yang memburuku layaknya binatang yang kuyakini telah mengililingi tubuhku. Semua ini sudah berakhir, aku kalah dalam pertempuranku kali ini. Aku kalah, kekalahan pertama dalam hidupku.

Dan gelap mulai mengambil paksa kesadaranku, merenggut dengan cara yang sangat menyakitkan. Ia seakan turut mengambil jiwaku menarik paksa dari ujung kakiku hingga kurasa titik yang paling menyakitkan, jantungku seolah diremas tanpa ampun, udara pun seakan menjauh tak ingin lagi menyentuh rongga pernafasanku, leherku terasa tercekik amat erat, aku tahu ajal telah datang, sang maut telah berada di sisiku dengan sabit yang siap menebas leherku mengakiri kesakitan yang tak sanggup kurasa ini. 

Tebasan akhirnya mendarat di leherku, bukan hanya tebasan sabit oleh sang maut tapi aku juga merasakan tebasan lain dari sebilah pedang tajam yang ikut meyertai kesakitan ini. Aku tahu saat ini tubuhku berada di alam lain. Alam sang maut. (bersambung)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: