Bagian 19: “Bahagianya Biar Sama – Sama Aja”

Bagian 19: “Bahagianya Biar Sama – Sama Aja”

Ary--

One day when you're enduring a particularly dark and long night

When you can't hold your tears and lift your head

Just follow the shining stars and

You'll find a way back

It's never goodbye

-NCT Dream, It’s Never Goodbye

֍♠♠♠♠֍

“Pengen punya hidup yang biasa – biasa aja, biar cepat selesai dengan ending yang bahagianya sama - sama”

-Aji ngebug 2022

>>>***<<<

Aji tidak tahu, mengapa dari sekian banyaknya tujuan ia malah berhenti di depan kos – kosanya Jingga. Malam sudah sangat larut, Enza sudah pulang sejak matahari sepenuhnya tak lagi nampak. Aji bukannya tak mau pulang, tapi pulang di saat kondisi hatinya sedang kacau juga sama tidak enaknya. Apa yang ia harapkan terjadi rumah? Tawa? Untuk hari ini, tangis pasti mendominasi diantara kelurganya.

“Aji?”

Sibuk dengan lamunannya, Aji tidak sadar bahwa Jingga berdiri di hadapannya dengan tatapan bingung. Jingga menenteng kresek hitam yang entah apa isinya. Namun, jika Aji boleh menebak Aji yakin kresek hitam itu berisi sampah sebab Jingga menjinjingnya dengan kerutan jijik di didahinya.

“Ngapain disini malam – malam?” Tanya Jingga. Aji mengulas senyum, “Nggak tau, tiba – tiba aja nih si Brom nongki disini,” Jawab Aji tersenyum kecil, namun nada bicara yang ia keluarkan malah terdengar datar dengan senyum skeptis. Jingga berkerut heran, sedetik kemudian ia turut tersenyum mengangguk – anggukan kepalanya, “Oh.. Ya udah, tunggu bentar ya. Aku mau buang sampah dulu,” Ujar Jingga, meninggalkan Aji. Tidak ada balasan dari Aji, Jingga menyebrang jalan, meninggalkan kresek hitamnya dalam bak sampah di seberang jalan. Aji mengatami Jingga, menunggu Jingga kembali ke dekatnya. Anehnya, Jingga malah bertahan di seberang jalan, melambaikan tangan dengan senyum polos seperti anak kecil.

(Nggak nyambung sumpah dari kemaren, author stuck kehabisan ide!)

BACA JUGA: 

Bagian 18: “Cepat Sembuh”

Aji menatap Jingga heran, berniat menyusul Jingga. Namun, keinginannya ditahan oleh Jingga yang menyilangkan tangannya berkali – kali, menunjuk –nunjuk ponselnya, seolah menyuruh Aji untuk melihat ponselnya. Aji mengambil ponsel dari saku celananya dengan tergesa – gesa, layar kuncinya masih foto Jingga yang ia ambil secara diam – diam, tidak ada apa – apa, selain pesan provider kartu miliknya. Aji menatap Jingga, menggeleng memberitahu Jingga. Jingga menangguk kemudian Aji dapat melihat Jingga yang menaruh ponsel di telinganya bersamaan dengan dering ponsel Aji. Nama Jingga tertera jelas sebagai id caller yang memanggilnya.

“Jingga?” Tanya Aji bingung, tidak paham dengan kelakukan Jingga. Aji dapat mendengar suara kekehan Jingga, seolah terhipnotis di tempat, Aji tidak bergerak sama sekali, netranya tepat menubruk di netra Jingga yang juga menatapnya. Keduanya berbagai perasaan melalui mata, diantara jarak jalanan yang ada.

“Iya ini, Jingga. Ceweknya Aji yang paling setia.” Jawab Jingga, meniru nada iklan idol korea kesukaanya. Aji tidak terlalu ingat namanya, namun itu persis sama. Aji tertawa pelan.

“Kenapa nelpon, padahal tinggal nyebrang, buang – buang pulsa,” Komentar Aji.

“Pake pulsa aku kok, tenang aja. Orang kere kayak kamu mah mana ngerti yang aku mau.” Balas Jingga.

“Iyain biar cepet, asal seneng aja deh.” Mendengarnya mau tak mau Jingga tergelak.

“Hari ini cowok aku lagi capek ya? Mau dengar ceritanya tapi aku nggak mau maksa, mau liat dia lemah, tapi dia pengennya aku tau dia yang paling kuat, yang paling bisa aku andalin.” Ucapan Jingga terjeda sesaat, Aji tidak membalas apapun selain hela nafas mereka satu sama lain. “Aji kalo nggak bisa ngomong langsung, kamu bisa bilang yang mau ngeganggu kamu dari sana. Biar aku dengerin dari sini, sesekali untuk jadi Ajinya Jingga yang nggak bisa apa –apa itu, manusiawi banget!”

Aji tertawa kecut, nada bicaranya gemetar, linang bening yang ia tahan akhirnya turun. Jingga selalu tau sekecil apapun perasaannya, perempuan itu berhasil mengulik dirinya hingga kebagian yang paling dalam, bahkan disaat Aji ragu untuk mengenali dirinya.

“Dulu, tepat di hari ini kapten Chandra harusnya pulang, harusnya dia bawa oleh – oleh buat Aku, Ngga. Katanya dia bakal mancing juga sama Mas Arya, dan ngajarin Enza buat main gitar. Tapi sampai hari ini, setelah empat tahun kapten nggak pernah pulang Jingga.”

Aji terisak, seolah tangis panjang nan pilunya di tengah ombak sore tadi tidaklah cukup puas untuk menenangkan gelora di hatinya, memadamkan api yang membabat habis perasaan dukanya. Jingga membiarkan Aji untuk menikmati rasa tangis itu, biarkan kekasihnya membuka luka yang paling ia sembunyikan.

“Aji,” Panggil Jingga lembut, Jingga menatap Aji dengan senyuman lembut, wajah pria-nya itu basah dan memerah, Aji tampak imut di mata Jingga.

“Di dunia ini ada beberapa hal yang nggak bisa kita kendalikan, salah satunya kematian. Nggak kenal waktu, nggak kenal tempat, bisa dimana aja bisa kapan aja. Kita pasti bakal kehilangan karena kematian. Kamu tau Aji kenapa tuhan menciptakan perasaan untuk kita? Supaya kita lebih tau dan paham, kalo sakit itu nggak selamanya. Kamu boleh kecewa, tapi bukan berarti hidup kamu harus berakhir sia – sia. Kenapa kamu harus nangis untuk sesuatu yang memang pantas didapatkan manusia. Kematian itu ada ditangan kita, masing – masing dari kita bakal ada di posisi satu diantaranya, sebagai yang merasa kehilangan, atau sebagai dia yang telah membuat rasa kehilangan.”

Jingga menatap Aji lembut, ia berikan tatapan terteduh yang ia miliki, “Nangis aja selama kamu mau nangis, nggak ada luka yang nggak sakit. Tapi nggak ada luka juga yang nggak bisa sembuh. Ji, kehilangan satu bukan berarti kamu kehilangan segalanya, kehilangan satu yang paling berharga buat kamu itu, ngajarin kamu untuk lebih ngehargain apa yang ada di sekeliling kamu saat ini. Kalo meraka nantinya juga pergi, kamu udah ngasih yang terbaik, nggak ada penyesalan apapun selain air mata bahagia, karena masing – masing dari mereka juga udah pergi untuk bahagia paling abadi.”

Diantara gelanya malam, dinginnya angin, Aji berlari memeluk Jingga, “Harusnya dibanding jadi pacar aku, kamu lebih cocok jadi pembicara, kesannya udah jadi manusia yang paling bijaksana aja.” Jenaka Aji, Jingga tertawa pelan turut menangis.

“Cowok gue cengeng banget sumpah, gue jadi ikutan mewek nih!”

“Jingga,” Bisik Aji, Jingga menangguk.

“Ternyata hidup kita drama banget ya, pengen cepat – cepat tamat aja, tapi nggak tau gimana cara bikin ending paling bahagia.” (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: