Bagian 18: “Cepat Sembuh”

Bagian 18: “Cepat Sembuh”

Ary--

Ayah, dalam hening sepi kurindu

Untuk menuai padi milik kita

Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan

Anakmu sekarang banyak menanggung beban

-Ebiet G.Ade,Titip Rindu Buat Ayah

֍♠♠♠♠֍

“Kehilangan itu luka, yang namanya luka nggak akan ada yang selamanya. Cepat sembuh keluarga Chandra.”

-Simpang Lima Kota Cinta

>>>***<<<

Mas Arya menatap figur foto yang terpampang di ruang tamu, sejak pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta dan tinggal di rumah ini sekarang, tidak ada yang pernah menatap figur keluarga bahagia itu. Kapten dengan seragam kapalnya, wajahnya teduh dan berwibawa. Tawa ibu juga sama khasnya, masih secerah matahari seperti biasanya. Sedangkan Aji dan Enza berpose konyol di sisi kira dan kanannya, sedang ia berwajah masam sebab Aji dan Enza yang kompak mengganggunya. Sebenarnya, banyak foto keluarga mereka yang lebih baik dari ini, tapi Kapten mereka sengaja memilih foto yang susunannya begitu berantakan.

“Ini jelek nggak sih kapten! Ganti yang lain aja!” Arya memprotes saat pertama kali ia lihat foto itu dipajang di ruang tamu. Bapak a.k.a kapten mereka tertawa jenaka. “Weleh, mana ada yang jelek, bagus gini kok!” Ujar Kapten Chandra.

Arya mencebik kesal, “Pokoknya jelek!” Arya berteriak dan lari ke kamarnya. Saat itu Arya masih tidak tau apa maksud kapten memilih foto keluarga yang itu. Namun, semakin dewasa semakin Mas Arya paham, bahwa hanya foto itu yang mewakili gambaran keluarga mereka. Kapten, dimanpun dirinya, beliau masih menjadi sosok seorang ayah yang dikagumi oleh tiga putranya, wibawanya, tawanya, jenakanya, figur kepala keluarga yang terus ada untuk membimbing dan mengayomi mereka. Dan ekstensi kapten difoto itu sangat menggambarkan kapten sekali.

Sedang figur ibu yang memeluk kapten dari samping, terlihat bahagia. Seolah mereka memang dua hal yang melengkapi, tawanya menjadi pengisi hari kapten dan hiburan untuk ketiga putranya. Sedang dirinya, Enza, dan Aji, sangat menggambarkan ikatan saudara sekali, begitu berantakan namun begitu terikat.

“Mas?” Suara Mama mengintrupsi lamunan Mas Arya, Arya menoleh, mengulas senyum lembut.

“Iya, kenapa Ma?” Tanya Mas Arya, Mama berdiri di samping Arya, turut menatap figura itu. Mama kembali mengingat kapan terkahir kali ia menatap figura lama itu seintens ini? Mama menggeleng, “Nggak ada apa – apa kok, cuma mau manggil Mas aja.” Jawab Mama pelan, Arya mengangguk. Setelahnya, baik Mas Arya maupun Mama sibuk dengan pikiran masing – masing mereka, kepala mereka begitu berisik satu sama lain, benang kusut yang lama teralit tidak pernah terurai satupun, rasanya benak mereka hampir pecah memikirkan segalanya.

“Ma, “ Panggil Mas Arya, pandangannya lurus kedepan, tidak menatap Mama sama sekali. “Kapten nggak rindu ya kita? Makanya kapten nggak pulang – pulang?” Tanya Arya, pertanyaan it uterus bercokol di benaknya sejak pertama kali ia dengar kapal yang dibawa oleh kaptennya, tenggelam tanpa jejek, menyisakan mereka dengan luka yang begitu dalam dan perih.

“Ma, Mas rindu Kapten, katanya Kapten bakal pulang, bawain makanan favorit Mas. Kapten juga janji buat mancing sama Mas setelah tugas. Tapi, Kapten nggak pernah pulang, Ma. Arya rindu Kapten, rasanya sakit disini, Ma.” Mas Arya meremat dadanya sebelah kanan. “Katanya Kpaten mau kita bahagia sama – sama, tapi Kapten milih bahagia sendirian, Ma.” Protes Arya pada Mama, ia biarkan bening Kristal itu mengaliri pipinya, nada bicaranya bergetar, nafasnya tersendat – sendat. Hari ini, biarkan Arya benar – benar berkabung dalam genangan duka, cukup empat tahun ia acuh pada lukanya, ia biarkan luka itu semakin membesar dan membusuk dengan sendiri. Berharap suatu saat nanti, luka itu akan mati karena telah lama ia biarkan. Namun, semakin lama, Arya tidak merasa sembuh, luka itu malah semakin menggerogoti dirinya. satu demi satu pertahanan Arya runtuh.

“Ma, Arya rindu kapten,” Bisik Arya lirih, Mama menarik Arya dalam pelukannya. Ia biarkan anaknya sulung itu terisak dengan kerasa, cukup sudah untuk mereka bepura – pura kuat dan baik – baik saja diantara kehilangan yang merenggut sebagian dunia mereka.

“Kapten pasti bakal pulang, tunggu sebentar lagi ya, Nak” Bisik Mama, berusaha menguatkan Arya. Entah itu benar – benar untuk menguatkan Arya, atau Mama memilih kata – kata itu untuk menguatkan dirinya sendiri. Kata sebentar itu, berapa lama sebenarnya? Berapa lama mereka akan menunggu Kapten mereka pulang?

Mama akhirnya turut menangis,  “Kapten nggak pulang ya, Mas? Padahal Mama juga rindu.” Nada bicara Mama sama gemetarnya, ia biarkan lukanya dilihat oleh anak pertamanya itu. Malam itu, orangtua dan anak itu menangis luka – luka yang telah mereka lama simpan. Dinatar buramnya pandangan Mama, ada sesosok figur berdiri tak jauh dari mereka, tersenyum teduh.

“Cepat sembuh,” Kata itu terucap tanpa suara, Mama semakin menangis keras. Itu Chandra, suaminya, ayah dari anak – anaknya, kapten kelurga mereka, dunia kelurga kecilnya.

Dalam garangnya isak tangis, dan rasa sakit yang terus merongrong, Mama bisikkan kata itu, “Mas cepat sembuh, untuk kamu, untuk Mama, untuk kita.” (bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: