Menyiasati Fluktuasi TBS Sawit

Menyiasati Fluktuasi TBS Sawit

Zulher

KEGELISAHAN yang tak kunjung berakhir. Satu bulan terakhir, kegelisahan itu sepertinya tak kunjung berujung. Berawal dari handphone saya yang bisa dihubungi oleh siapa pun, membuat telepon genggam itu teramat sering dihubungi. Paling sering, para pemberi kabar menginformasikan tentang merosotnya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Selain rekan-rekan wartawan, yang terbanyak

meminta konfirmasi tentu saja komunitas petani. Terbanyak, petani swadaya. Mereka “komplain”, sudahlah harga TBS merosot, di tingkat petani harganya malah jauh di bawah harga yang ditetapkan tim

penetapan harga Dinas Perkebunan (Disbun).

Banyak faktor penyebab turunnya harga TBS sebagai imbas penurunan permintaan Cruide Palm Oil (CPO) di kancah perdagangan internasional. Hukum permintaan pun jadi berlaku bagi perusahaan-perusahaan

pengekspor CPO. Minim permintaan (demand), berujung terjadinya penumpukan CPO (suplay) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Dampak langsung sangat dirasakan petani kelapa sawit, terutama petani swadaya.

Penumpukan CPO menjadi di antara alibi pihak perusahaan sebagai “pembenaran” untuk membeli murah harga TBS petani. Di pihak lain, petani pun terpaksa tetap harus menjual hasil produksi kebunnya. Pilihan pahit harus diambil dengan estimasi dari pada buah membusuk begitu saja. Biar murah asal laku, menjadi di antara deraan “kenestapaan” petani swadaya. Naasnya, prediksi tak menggembirakan muncul bahwa merosotnya harga TBS diperkirakan akan belangsung hingga akhir tahun.

Asumsi itu disebabkan ketidakstabilan perekonomian Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang seiring sejalan dengan tibanya masa panen produk-produk tanaman penghasil minyak nabati lainnya, semisal bunga

matahari, kedelai, dan jagung. Hingga hari ini, harga CPO Indonesia memang sangat dominan ditentukan pasar luar negeri. Dan, bila harus “dipaksa” harganya turun oleh luar negeri dengan sedikitnya permintaan CPO, jelas berpengaruh langsung kepada rendahnya harga TBS. Boleh jadi, kenyataan demikian menjadi di antara risiko petani tanaman komoditas ekspor.

Saya ingin kembali menegaskan, bahwa upaya penyelamatan harga TBS milik petani kita hanya dengan membangun industri hilir turunan CPO. Kita akan bisa menentukan harga sendiri karena yang diekspor adalah barang jadi.

Hanya saja, dalam konteks kekinian, menjelang “harapan” itu terwujud? Yang paling mendesak dilakukan adalah “penyelamatan” kestabilan ekonomi petani kelapa sawit. Setidaknya menjaga konsistensi keseimbangan harga. Apatahlagi, Provinsi Riau merupakan yang terluas perkebunan kelapa sawitnya di Indonesia. Prinsip penyeimbangan ekonomi petani pula, yang membuat saya menjadikan sebagai hal penting untuk mempertanyakan tentang kisaran harga TBS dan Standar Operasional Prosedur (SOP) penerimaan TBS pabrik-pabrik kelapa sawit, setiap kali Tim Monitoring, Evaluasi dan Pembinaan Usaha Perkebunan (TMEPUP) melakukan inspeksi ke perusahaan-perusahaan PKS. Namanya saja dunia bisnis profit, jawaban manajemen perusahaan ada yang berdusta dan ada pula yang agak jujur. Tapi,

apapun jawaban mereka, pastilah saya konfrontir dengan petani-petani yang menjual TBS-nya di perusahaan tersebut. Harapan yang ada tentu saja terjalinnya

keharmonisan dalam saling ketergantungan antara petani dengan pabrik. Makanya, standarisasi harga dan transparansi SOP sangat diperlukan untuk membuat petani menentukan berbagai pilihan alternatif untuk memasarkan

hasil produksi kebun. Keharmonisan dan kesimbangan antara pabrik dengan petani pastilah akan tetap terjaga bila PKS, terutama non-kebun, istiqomah pada komitmen dengan petani. Bukankah, PKS non-kebun bisa berdiri dan beroperasi atas dukungan petani swadaya? Tegasnya, pihak perusahaan mesti turut merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas hasil kebun petani. Ujungujungnya, pabrik akan diuntungkan karena mendapatkan TBS kelapa sawit berkualitas. Inilah yang saya sebut dengan keseimbangan bersinergitas antara perusahaan dengan petani swadaya. Di pihak lain, di antara upaya yang bisa dilakukan petani dalam menyiasati keseimbangan penjualan hasil kebunnya adalah dengan pembentukan kelompok tani. Lebih baiknya membentuk wadah koperasi. Koperasi yang merupakan sistem ekonomi berkarakter kepribadian asli Indonesia dijiwai semangat gotong-royong dan kebersamaan. Keuntungannya untuk kesejahteraan seluruh anggota. Bukan untuk individu-individu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: