Merindukan Gus Dur
Gus Dur juga marah. Ingat kasus novel Ayat-Ayat Setan yang ditulis Salman Rushdie. Namun, bagi Gus Dur, ekspresi kemarahan tidak harus merusak dan melanggar hukum. Karena itu, Gus Dur menolak fatwa mati Ayatullah Khomeini terhadap Salman Rushdie. ’’Saya baca Satanic Verses berulang-ulang, tapi tidak bisa mengurangi kemarahan saya kepada Salman Rushdie. Saya melihat Salman Rushdie ingin masuk ke lingkaran elite sastrawan Inggris dengan cara mengolok-olok Nabi. Namun, fatwa mati padanya berlebihan,’’ kata Gus Dur.
Terakhir soal tragedi 1965. Sejak Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi pada Juli lalu, masalah ini kembali memanas. Padahal, sasaran Komnas HAM jelas: negara dan pemerintah. Sayangnya, ada provokasi rekomendasi itu diarahkan ke NU saja. Padahal, kalau mau fair, bukan hanya warga NU yang terlibat dalam peristiwa berdarah tersebut. Sangat kentara rekayasa oleh rezim saat itu yang ’’meminjam tangan’’ ormas-ormas untukmemukul orang-orang yang dituduh terlibat PKI. Kini ada modus meminjam tangan NU lagi. Kalau dulu ’’dipinjam untuk memukul orang’’, kini tangan orang-orang NU mau dipinjam lagi untuk mencuci tangan-tangan kotor yang paling bertanggung jawab atas
tragedi 1965.
Sikap reaktif beberapa kalangan NU terhadap peristiwa 1965 justru merugikan NU dan meletakkannya pada pusaran serangan. Masih ingatkah saat Gus Dur meminta maaf atas peristiwa itu? Pramoedya Ananta Toer (korban 1965) menolak dengan keras. Justru setelah itu simpati mengarah kepada Gus Dur, sedangkan serangan dan cemoohan berbalik kepada Pram. Kita benar-benar rindu Gus Dur. Wallahu a’lam.
*) Santri Gus Dur dan pegiat Komunitas Salihara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: