Hambalang Rugikan Negara Rp 243 M
Ke tujuh, terkait ijin kontrak tahun jamak. Audit BPK menyebut, Menkeu menyetujui kontrak tahun jamak dan Dirjen Anggaran menyelesaikan persetujuan kontrak tahun jamak, setelah melalui proses penelahaan secara berjenjang secara bersama-sama, meskipun diduga melanggar PMK 56/PMK.02/2010.
Pelanggaran tersebut diantaranya, tidak seluruh unit bangunan yang hendak dibangin secara teknis harus dilaksanakan dalam waktu lebih dari satu tahun anggaran, permohonan persetujaun kontrak tahun jamak tidak diajukan Menteri/Pimpinan Lembaga, dan RKA-KL Kemenpora 2010 (revisi) yang menunjukkan kegiatan lebih dari satu tahun anggaran belum ditandatangani oleh Dirjen Anggaran.
Ke delapan, terkait persetujuan RKA-KL 2010, Dirjen Anggaran menetapkan RKA-KL Kemenpora Tahun 2011 dengan skema tahun jamak sebelum penetapan proyek tahun jamak disetujui. Dirjen Anggaran diduga melanggar PMK 104/PMK.02/2010.
Ke Sembilan, terkait pelelangan atau tender. Dalam hal ini ada empat poin pelanggaran. Poin pertama, Sesmepora menetapkan pemenang lelang konstruksi dengan nilai kontrak di atas Rp 50 miliar tanpa memeperoleh pendelegasian dari Menpora, sehingga diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2003.
Poin ke dua, Menpora diduga membiarkan Sesmenpora melaksanakan kewenangan Menpora tersebut dan tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan. Poin ke tiga, proses evaluasi prakualifikasi dan teknis terhadap penawaran calon rekanan tidak dilakukan oleh Panitia Pengadaan, melainkan diatur oleh rekanan yang direncanakan akan menang, sehingga diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2003.
Poin ke empat, BPK mengungkap rekayasan pelelangan proyek Hambalang untuk memenangkan konsorsium dua BUMN Adhi Karya dan Wijaya Karya (Adhi-Wika). Misalnya, dengan mengumumkan lelang dengan informasi yang tidak benar dan tidak lengkap, kecuali kepada Adhi-Wika.
Indikasi pelanggaran ke sepuluh, terkait pencairan anggaran. BPK menyebut Kabag Keuangan Kemenpora menandatangani dan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) meskipun Surat Permintaan Pembayaran (SPP) belum ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sehingga diduga melanggar PMK 134/PMK.06/2005 dan Perdirjen Perbendaharaan PER-66/PB/2005.
Ke sebelas, terkait pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Menurut BPK, konsorsium Adhi-Wika menyubkontrakkan sebagian pekerjaan utamanya (konstruksi) kepada perusahaan lain sehingga diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2003.
Selain membeber 11 indikasi pelanggaran tersebut, Hadi juga mengungkap proses pemeriksaan terhadap Menpora Andi Mallarangeng. Menurut mantan dirjen pajak itu, Andi saat diwawancara auditor BPK sempat mengaku tak tahu jika menteri harus terlibat dan menandatangani dokumen kontrak proyek di kementeriannya yang benilai di atas Rp 50 miliar. Seperti halnya keharusan memberikan persetujuan lewat tandatangan dalam proyek Hambalang.
Namun, Hadi mengatakan, auditor BPK tidak menerima alasan tersebut. Karena sebagai pejabat negara, mestinya Andi mengetahui peraturan perundang-undangan yang masuk dalam berita negara. \"Misalnya, apakah kalau teman-teman mencuri, (kemudian tertangkap, lalu mengatakan) maaf Pak, saya belum baca KUHAP, ya kan tidak bisa (seperti itu),\" katanya.
Karena itu, lanjut dia, BPK tetap menilai Andi telah salah karena melakukan pembiaran atas indikasi penyimpangan dan dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Sesmenpora. \"Jadi, tetap ada kesalahan bahwa dia melakukan pembiaran kepada stafnya untuk tidak ditegur,\" imbuh Hadi.
Poin menarik lain yang ternyata tidak masuk dalam kesimpulan laporan audit BPK adalah keterlibatan PT Dutasari Citralaras, subkontraktor Adhi-Wika. Di perusahaan inilah istri Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Athiyyah Laila menjadi komisaris.
Hal itu diungkap oleh Anggota BPK Ali Masykur Musa. Menurut dia, audit BPK menemukan aliran uang sebesar Rp 63 miliar ke PT Dutasari Citralaras. \"Padahal, PT DC ini belum melakukan pekerjaan apa-apa, kok sudah mendapat uang Rp 63 miliar. Jadi, perusahaan ini sebenarnya patut diduga tidak berhak menerima uang muka itu,\" ujarnya.
Menurut Ali Masykur, dana tersebut diberikan oleh konsorsium Adhi-Wika kepada PT DC. Jadi, alur transaksinya, Adhi-Wika mendapat dana dari Kemenpora, lalu Adhi-Wika memberikan sebagian dana itu ke PT DC. \"Untuk lebih jelasnya tentang aliran-aliran uang ini akan kami masukkan di audit tahap dua,\" jelasnya.
Lalu, bagaimana tanggapan Menkeu Agus Martowardojo yang namanya masuk dalam hasil audit BPK\" Agus mengatakan, mengatakan pihaknya merespon positif atas keluarnya laporan audit resmi atas kasus Hambalang. Sikap kooperatif tetap ditunjukkan meski pada akhirnya laporan tersebut menyangkutkan namanya sebagai salah satu terduga kasus korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: