Menimbang Pengajaran Bahasa Inggris di SD
Barangkali inilah alasan utama pemerintah mewacanakan peniadaan pelajaran bahasa Inggris di tingkat SD, agar anak didik kita bisa lebih fokus mendalami bahasa Indonesia sebagai bahasanasional. Pemerintah barangkali setuju dengan ungkapan Ernst Moritz Arndt yang saya kutip di awal tulisan ini. Bahwa tak ada elemen paling luhur dari sebuah bangsa, kecuali bahasa. Penguasaan
yang baik terhadap bahasa Indonesia diharapkan bisa menjadi salah satu entry point tumbuhnya rasa nasionalisme mereka. Lebih jauh, dengan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, mereka diharapkan bisa mengenal lebih jauh kekayaan khazanah budaya Nusantara.
Di lain sisi, sangat mungkin bahwa pemerintah merasa khawatir akan terancamnya identitas generasi muda Indonesia akibat derasnya arus bahasa asing ke generasi muda kita saat ini. Globalisasi informasi di satu sisi membuka berjuta peluang untuk maju, namun pada saat yang sama dia juga membawa ancaman. Pemerintah barangkali sedang berusaha mengelola ancaman serangan budaya asing ini dengan penguatan karakter bangsa melalui penguatan pengajaran bahasa nasional.
Apalagi kalau kita melihat dari kacamata “politik bahasa”, bahwa diakui atau tidak bahasa Inggris saat ini memang menjadi bahasa yang hegemonik. Phillipson (1992) menyebut fenomena ini sebagai linguistic imprealism (penjajahan linguitik). Philipson mengkritisi hegemoni budaya asing yang masuk melalui “penjajahan model baru” melalui bahasa, sebagaimana fenemena hegemoni bahasa Inggris
di banyak negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Akibatnya, kita cendrung menempatkan kemampuan berbahasa Inggris adalah “segalanya”, bahkan mungkin melebihi kesadaran kita tentang pentingnya kita menguasai bahasa sendiri. Di titik ini, menurut Phillipson, kita sudah “terjajah” secara
linguistik.
Masa Emas Belajar Bahasa
Terlepas dari urusan nasionalisme di atas, pemerintah perlu kembali menyadari bahwa adalah fakta bahwa kemampaan berbahasa asing yang baik adalah penting bagi generasi muda kita agar bisa menjadi salah seorang warga dunia, dan bisa mengambil peran strategis di dalamnya untuk kepentingan diri sendiri ataupun untuk kepentinan bangsa. Kemudian, adalah juga fakta bahwa tingkat
rata-rata kemampuan berbahasa asing kita masih sangat rendah. English Proficiency Index (EPI) yang dirilis oleh lembaga English First (EF) pada tahun 2011, misalnya, menempatkan Indonesia di ranking 34 dari 44 negara non-berbahasa Inggris yang mereka survei berdasarkan nilai tes bahasa Inggris online dari lebih 2 juta orang dewasa selama 3 tahun terakhir.
Dengan demikian, kita berharap bahwa pengajaran bahasa Inggris di Indonesia di masa depan bisa lebih baik, karena rendahnya kemampuan berbahasa asing kita selama ini tentu tidak bisa dipisahkan dari “kegagalan sekolah” dalam mengajarkan bahasa Inggris ini. Karenanya, sistem pengajaran bahasa Inggris di sekolah juga perlu mereformasi diri. Sampai di sini kemudian, perlu kita ketahui bahwa dalam teori pemerolehan bahasa, anak-anak SD yang berusia antara 6-12 tahun itu
berada pada masa emas mereka belajar bahasa, selain bahasa ibu. Kondisi otaknya masih plastis dan lentur sehingga penyerapan bahasa lebih mudah. Menurut tokoh psikososial Erikson, kemampuan berbahasa anak pada fase ini lebih berkembang dengan cara berpikir konsep operasional konkret.
Riset teknologi brain imaging di University of California, Los Angeles, menunjukkan bahwa pada rentang usia anak SD ini, kemampuan mereka dalam proses kognitif, kreativitas, dan divergent thinking berada pada kondisi optimal sehingga secara biologis menjadi waktu yang tepat untuk mempelajari bahasa asing. Penelitian lain juga menunjukkan hasil (Kormi dan Nouri, 2008), bahwa anak- anak yang mempelajari lebih dari satu bahasa memiliki kemampuan lebih dalam tugas memori episodic, mempelajari kalimat dan kata, dan memori semantic, kelancaran menyampaikan pesan dan mengkategorikannya.
Dua penelitian ini menunjukkan bahwa bilingualisme tidak akan mengganggu performa linguistik anak dalam bahasa apa pun. Sejauh ini, belum ada bukti ilmiah bahwa bahasa pertama akan bermasalah jika mempelajari bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya sebab fase anak-anak tengah memiliki fleksibilitas kognitif dan meningkatnya pembentukan konsep. Dengan demikian, anak-anak ini mampu memahami bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman terhadap bahasa ibunya. Oleh karena itu, anak-anak SD secara biologis berada dalam masa emas untuk mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia.
Epilog
Mengacu pada alasan di atas, sepertinya pemerintah akan menghadapi dilema jika wacana penghapusan itu benar-benar dilaksanakan. Di satu sisi, pemerintah ingin memperkuat bahasa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: