Perusahaan Bodong, Jambi Rugi Rp 64 M
JAMBI - Akibat banyaknya perusahaan pertambangan bodong, alias tanpa izin membuat kerugian Negara yang cukup besar. Jumlahnya mencapai Rp 428 miliar.
‘’15 persennya ada di Jambi,’’ tutur anggota BPK RI, Dr Ali Maskur Moesa kepada wartawan kemarin.
Dirinya menyampaikan, dari 386 izin usaha pertambangan yang diterbitkan di Jambi, 233 berada dalam kawasan hutan. Setidaknya, sebanyak 245 IUP di Jambi yang bermasalah. Bermasalahnya IUP itu, karena lokasinya tumpang tindih.
‘’Mereka (Perusahaan, red) merambah kawasan hutan dan tidak memiliki izin pakai,’’ tuturnya.
Apalagi lanjutnya, dari data Dinas Kehutanan Provinsi Jambi hanya ada 21 perusahaan dari ratusan IUP tersebut yang mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.
Ali Masykur Musa juga mengatakan, areal yang disalahgunakan oleh perusahaan, yakni, dari 386 izin usaha pertambangan yang diterbitkan, 223 titik diantaranya berada di kawasan hutan, baik hutan lindung, hutan produksi maupun hutan produksi terbatas.
Dari jumlah itu hanya 141 usaha tambang yang clean dan clear alias telah memenuhi prosedur. Sedangkan selebihnya atau sebanyak 245 izin usaha pertambangan bermasalah karena lokasinya tumpang tindih, merambah kawasan hutan dan tidak memiliki izin pakai.
Atas fakta yang ada, Ali Masykur Musa menyatakan jika negara dirugikan karena praktek usaha yang menyalahi prosedur ini yang mencakup kerugian ekonomi dan ekologi. Kerugian ekonomi karena Negara kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan dari sektor usaha yang operasinya menyalahi prosedur. Ini dibuktikan dengan sektor batubata yang hanya menyumbang 15 miliar rupiah untuk APBD Provinsi Jambi di tahun 2010.
“Sedangkan untuk kerugian ekologi karena praktek usaha yang tidak terpuji itu berdampak pada rusaknya lingkungan hidup yang akibatnya harus ditanggung rakyat dan negara,” ungkapnya.
Anggota BPK RI ini mendesak agar pemerintah mengevaluasi dan menertibkan izin-izin usaha pertambangan dan perkebunan serta mencabut izin usaha pelaku usaha.
“Cabut izin pelaku usaha yang secara jelas melanggar aturan dan mengancam kerusakan lingkungan di Provinsi Jambi,” tegas Ali Masykur Musa.
Padahal dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi, luas areal yang ditetapkan untuk perkebunan kelapa sawit hanya dialokasikan 600 ribu hektare. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI diketahui, sejak tahun 2011, di Provinsi Jambi lebih dari 1 juta hektar hutan produksi dan hutan produksi terbatas dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri.
“Dari pemeriksaan setiap tahunnya diketahui status tanah hutan produksi dan hutan produksi terbatas itu kenyataannya telah tumpang tindih dengan lahan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan dengan luasan lebih dari satu juta hektare,” katanya.
Dijelaskannya, akibat tindakan tersebut maka lahan yang seharusnya jadi penyangga kawasan konservasi hutan dan ekosistem telah beralih fungsinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: