>

Salah Kaprah Kurikulum IAIN

Salah Kaprah Kurikulum IAIN

Oleh: Saidina Usman el-Quraisy

                Malam itu tanggal 24 Desember 2012 sebanyak 12 orang mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisanga Semarang, mendatangi gereja St. Fransikus Xaverius Kebon Dalem, Semarang, Jawa Tengah. Seperti yang dilansir oleh koranjakarta.com ternyata motif dari 12 Mahasiswa Fakultas Perbandingan Agama itu, ingin mengikuti misa malam natal bersama dengan umat katolik yang lain. Meski sempat kaget, pendeta yang memimpin pelaksanaan misa malam itu Aloysius Budi Purnomo PR pun dengan senang hati memperkenalkan 12 mahasiswa asal perguruan tinggi Islam ini kepada jamaah yang hadir dan dipersilahkan duduk dibangku cadangan paling depan. Fenomena ini membuat Romo Budi Purnomo senang apalagi ditengah hilangnya kesejukan harmoni antar umat beragama, sehingga dengan bangga Romo berujar;        ”Yesus memang lahir bukan hanya untuk umat Kristiani, tetapi untuk siapa pun juga”. Ketua rombongan mahasiswa yang juga ketua himpunan mahasiswa Perbandingan Agama, Ahmad Muqsith beralasan bahwa apa yang mereka lakukan adalah wujud dari toleransi beragama yang diaktualisasikan.

                Pada tanggal 27 September 2004 silam, di Fakultas Ushuluddin IAIN Bandung muncul kejadian ‘aneh’ lainnya. Ketika pelaksanaan perkenalan mahasiswa baru (sekarang untuk lingkungan IAIN dikenal dengan sebutan Orientasi Pengenalan Akedemik Kampus atau disingkat “OPAK”) mahasiswa baru disambut dengan teriakan seorang mahasiswa senior, yang dengan lantang mengatakan: “ selamat datang dan selamat bergabung di area bebas Tuhan!”

                Konon, diceritakan di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi sekitar tahun 1990-an salah seorang aktivis mahasiswa pernah membuat statement di bajunya: “ Tuhan, Maaf saya sedang sibuk!”

                Ya..beberapa fenomena diatas adalah wujud kongret akibat dari kurikulum keliru yang diterapkan di IAIN. Prof. Rasyidi sudah memprediksi bahwa ini akan terjadi, makanya beliau berusaha keras agar Buku “ Islam ditinjau dari berbagai Aspek (IDBA)” karya Harun Nasution tidak dijadikan buku panduan IAIN seluruh Indonesia sejak Agustus 1973 itu. Prof. Rasyidi mengungkap data dan fakta betapa bahayanya apabila buku itu diterapkan di IAIN, tapi pihak Kementerian Agama waktu itu tidak mengubris usulan Prof. Rasyidi.

                “Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.”

Itulah pernyataan Azyumardi Azra dengan nada bangga yang dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hal. 117), yang diterbitkan atas kerjasamaCanadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Kementerian Agama.

                Padahal tujuan awal berdirinya IAIN yang secara hukum berdasarkan pada peraturan presiden (perpres) no 11 tahun 1960, adalah bermula dari keinginan yang kuat untuk melahirkan generasi muslim yang bisa membela dan mendakwahkan Agama Islam serta menjaganya dari kerusakan-keruskan atau ancaman yang memang sengaja ingin merusak Islam. Semangat ini sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Imam Al-Ghazali tentang tujuan menuntut ilmu yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. al-Attas, bahwa tujuan pendidikan Islam itu sebenarnya adalah untuk melahirkan insan yang ber-adab, dengan maksud bahwa insan tersebut diharapkan memiliki disiplin terhadap rohani dan akalnya sehingga bisa meletakkan sesuatu pada tempatnya bersumberkan ilmu dan pemamahaman agama yang benar, dan puncaknya adalah menghasilkan pribadi serta masyarakat yang mengenal dan melibatkan Allah dalam segala aspek dari aktivitas kehidupannya. Jadi IAIN/UIN/STAIN pada hakikatnya bukanlah dirancang untuk mencetak sarjana-sarjana yang justeru melihat Islam sama dengan agama-agama lain atau memposisikan diri sebagai seorang yang netral dalam beragama dengan dalih “ini dunia akademik!, ini dunia ilmiah!” bak gaya orientalis memandang Islam!.

“ Institut Agama Islam Negeri pada permulaanja merupakan suatu tjita-tjita yang selalu bergelora dalam djiwa para pemimpin Islam jang didorong oleh hadjat-kebutuhan terhdap adanja sebuah perguruan tinggi yang dapat memelihara dan mengemban adjaran2 sjariat Islam dalam tjorak dan bentuknja yang sutji murni bagi kepentingan angkatan muda, agar kelak dikemudian hari dapat memprodusir Ulama2 dan sardjana2 jang sungguh2 mengerti dan dapat menegrdjakan setjara praktek jang disertakan dengan pengertian yang mendalam tantang hukum2 Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah jang Maha Pengasih dan penjajang.” Itulah sepenggal cuplikan isi pidato KH.M. Dachlan selaku menteri Agama dalam acara peringatan sewindu IAIN pada tahun 1968 di Yogyakarta yang menerangkan tentang tujuan utama IAIN didirikan.

                IAIN memiliki banyak pekerjaan rumah, mulai dari kualitas mahasiswanya (yang terkesan menjadikan studi di IAIN sebagai pilihan terakhir), sarana dan prasarana, metodologi sampai kepada pragmatisme yang melilit civitas Akademika-nya. Hari ini motif mahasiswa menuntut ilmu di IAIN bukan lagi didasari oleh keinginan untuk memahami agama dengan benar serta kemudian mengamalkan dan mendakwakannya, tapi lebih karena ingin meraih gelar untuk kepentingan pekerjaan dan jabatan. begitu lapangan kerja tercapai dan jabatan sudah diraih, maka segala aktivitas keilmuan dan upaya untuk mengembangkan serta mengamalkannya pun terhenti, budaya ilmu pun ditinggal sudah.

                Kita berharap para dosen di IAIN/UIN/STAIN dan perguruan tinggi Islam lainnya menyadari amanah yang dipikul mereka sangatlah berat. Para dosen dilingkungan IAIN perlu menyadari bahwa upaya meruntuhkan Islam yang sangat strategis adalah dari dalam, dengan cara merusak konsep-konsep keilmuan Islam. Tak bisa dibayangkan bila IAIN sebagai lembaga yang diharapkan menjadi penjaga Islam, akhirnya  hanya akan melahirkan perusak-perusak Islam. (Penulis adalah Kandidat Master of Philosophy (M.Phil) di CASIS-UTM/Alumni IAIN Jambi 2010)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: