>

Arisan Nasib Parpol

Arisan Nasib Parpol

DENGAN nada berseloroh, seorang petinggi partai politik (parpol) berpendapat tentang maraknya politikus yang terjerat kasus korupsi dan menjadi ’’pasien’’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Katanya, parpol sejatinya sedang melakoni arisan nasib. Artinya, mereka tinggal menunggu giliran untuk bernasib sial menjadi pesakitan karena kadernya terlibat kasus korupsi.

Pernyataan tersebut seolah mendapat pembenaran ketika satu demi satu kader parpol tertentu terseret beragam kasus korupsi. Satu per satu politikus ditangkap penyidik KPK dan dijebloskan ke tahanan dengan tuduhan menggarong uang rakyat. Seperti arisan, kalau bulan lalu parpol A yang kadernya bermasalah, bulan ini giliran parpol B yang harus merelakan petingginya diperiksa atau ditangkap KPK. Nah, bulan depan bisa jadi parpol C yang mendapat ’’arisan’’. Sekarang bisa dikatakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sedang mendapat giliran. Kasus suap impor daging sapi menyeret mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) sebagai tersangka dan akhirnya harus meringkuk di tahanan.

Kasus itu terus bergulir dan mengarah kepada kader PKS di kabinet. Yak ni, Menteri Pertanian Suswono. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan akan memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan tertulis dari Suswono. Hal yang sama telah dilakukan SBY terhadap Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng yang akhirnya mengundurkan diri karena terseret kasus Hambalang.

Sebelum PKS, beberapa parpol mendapat ’’arisan’’. Partai Demokrat, misalnya, harus menerima kenyataan sejumlah petingginya berurusan dengan KPK. Ada yang duduk di kursi DPR hingga menteri. Ada yang sudah menja lani sidang, dinyatakan bersalah, dan harus meringkuk di penjara. Ada juga yang menjadi tersangka dan dicegah ke luar negeri, tapi tidak ditahan.

Partai Golkar dan PDI Perjuangan juga tidak lepas dari masalah serupa. Seorang kader beringin harus keluar dari parlemen karena menjadi tersangka korupsi proyek pengadaan Alquran. Untuk memuluskan praktik culas itu, dia berkongkalikong dengan anaknya sendiri! Sementara itu, sejumlah politikus PDI Perjuangan harus menjadi pesakitan karena kasus suap pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia.

Itu adalah paparan kasus-kasus yang berlevel nasional. Masih banyak politikus di daerah yang tersandung beragam masalah hukum. Kebanyakan adalah korupsi! Sungguh realita yang memalukan. Ongkos politik yang tinggi diyakini menjadi salah satu pemicu begitu mudahnya politisi bermain-main dengan korupsi. Hasil penelitian

seorang anggota DPR menyebutkan, biaya kampanye untuk menjadi anggota parlemen di Senayan mencapai Rp 2 miliar sampai Rp 22 miliar. Artinya, modal janji saja tidak cukup untuk mengantarkan seorang politikus menduduki kursi empuk sebagai anggota parlemen.

Harus ada modal lain: uang! Karena itu, beragam cara dilakukan untuk

mendapatkan uang sebagai biaya kampanye. Sistem pemerintahan di republik ini tidak bisa meniadakan keberadaan parpol. Tentu harapannya adalah parpol dengan kader-kader yang profesional. Kalau sosok politisi di negeri ini masih jauh dari santun dan

bersih, kepercayaan publik kepada parpol bakal terus tergerus. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: