Ekses Pemilukada Dalam Implementasi Good Governance

Ekses Pemilukada Dalam Implementasi Good Governance

Oleh : H. Navarin Karim

Era pemilukada dalam memilih penguasa secara langsung oleh rakyat, disatu sisi relative  lebih dapat memuaskan harapan masyarakat pemilih walaupun cost yang dikeluarkan luar biasa besarnya, seperti biaya sosialisasi diri, biaya mendapatkan perahu partai, biaya baleho dan kosmetik politik, biaya survey,  biaya mendatangkan juru kampanye dari pusat sebagai vote getter, dan biaya bagi-bagi sembako ataupun pemberian uang sebagai praktek money politik.

Akibat ini semua, siapapun penguasa yang tadinya sebelum jadi penguasa dia termasuk orang jujur, rendah hati, santun, dan punya integritas yang tidak diragukan . Namun setelah setelah terpilih nilai diri yang bersifat positif lambat laun akan tergerus, sehingga dalam menyelenggarakan prinsip-prinsip pemerintahan mulai melenceng dari yang diharapkam. Akuntabilitas, keterbukaan, transparansi, rule of law, demokrasi dan partisipasi, kapabilitas, profesionalisme, responsif, efektifitas  dan efisien  hanya dijadikan sebatas kata mutiara dan retorika saja. Padahal good and clear governance ini jika dapat dilaksanakan secara baik akan meningkatkan pelayanan public,  peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, pencapaian keadilan dan pemerataan, pelestarian lingkungan hidup, penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan, mendukung pembangunan nasional dan mengembangkan kehidupan berbangsa, bernegara  dan bermasyarakat berdasarkan Pancasila dan serta menjaga tegak, lestari dan utuhya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penyusunan Aparat Pemerintah, Awal Kemencengan.

Setelah terpilihnya pasangan (gubernur, walikota, bupati)  yang baru maka mulailah dilakukan penyusunan staf baru, ada yang awalnya malu2 dua atau tiga atau empat orang dulu yang diganti, selanjutnya makin berani dengan melakukan pergantian pejabat dengan menonjobkan atau ada juga penguasa yang sedikit santun dengan merubah posisi pejabat tersebut walaupun tidak pas betul basic kemampuan/kapabelitas si pejabat lama. Praktek non job ini walau tanpa melalui mekanisme yang jelas sesuai ketentuan yang berlaku, kebanyakan pegawai  hanya pasrah. Habis bagaimana lagi, menghadapi tembok penguasa sama saja dengan bunuh diri.  Penentuan pejabat, jika ditanya kepada penguasa apakah sudah melalui Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan), pasti dijawab sudah. Baperjakat dimana-mana tidak mandiri dan mendapat intervensi dari penguasa daerah. Yang jelas Baperjakat sendiri dalam menentukan pejabat yang akan dipromosikan sebagian dengan mempertimbangkan tekanan tim sukses dan elite partai politik pengusung. Memang ada juga sebagian kecil yang berdasarkan pertimbangan obyektif Baperjakat, tapi itu sekedar untuk mengaburkan saja, supaya “seolah-olah” aturan masih diterapkan. Akibat semua ini,  masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan keberadaan Baperjakat, dan pelesetan masyarakat terhadap Baperjakat menjadi Badan Pertautan Jauh Dekat.

Penyusunan awal aparat pemerintah ini sebenarnya telah menyimpang dari prinsip good governance yaitu profesionalisme. Dalam prinsip ini sebenarnya lebih ditekankan untuk memperhatikan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi atau golongan (partai dan tim sukses). Akibat pelanggaran prinsip profesionalisme berimbas pula kepada penyimpangan azas transparansi, kapabilitas, karena mekanismenya tidak jelas dan melanggar pula rule of law, dengan system promosi yang tidak jelas dan melakukan non job kepada pegawai lama dengan menempatkan sebagai pegawai transit. Penulis pernah sebagai pengampu mata kulaih Administrasi Kepegawaian, salama ini memahami pengertian transit itu hanya dalam waktu sementara. Nyatanya ada pegawai di kabupaten/propinsi yang mengalami hal tersebut sampai satu sampai dua tahun bahkan lebih. Penulis analogikan kalau kita dari Jambi mau ke Surabaya, transit ke Jakarta dahulu. Setelah dapat pesawat ke Surabaya maka kita akan segera diberangkatkan. Tapi tidak pada istilah transit di pemerintahan, bisa sebentar namun dapat pula berlama-lama. Bisa kita bayangkan jika yang kena transit itu adalah pegawai yang punya kapabilitas dan mempunyai pengalaman yang mumpuni, apa ini tidak melanggar prinsip efektifitas dan efisiensi. Efek lain jika yang mengisi pos jabatan tertentu  tidak kapabel, maka prinsip responsive juga akan terganggu dan pada giliran akhirnya prinsip akuntabilitas  akan menjadi masalah besar, hal mana penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan harus dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintahan Daerah seharusnya semakin menyadari bahwa jika pemerintah pusat mengumumkan index kinerja daerah, dimana daerahnya berada posisi yang rendah, artinya akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah secara keseluruhan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara baik. Ini semua berawal dari kurang memperhatikan prinsip profesionalisme dalam penyusunan aparat pemerintah. Mudah-mudahan dimasa yang akan datang profesionalitas pegawai tidak tergadaikan lagi. Jika penyusunan aparat pemerintah benar-benar memperhatikan prinsip profesionalisme, maka paling tidak ada seberkas harapan bahwa kinerja akan lebih menjanjikan. Mudah-mudahan kritik yang bersifat membangun ini dapat diperhatikan dan diterima positive sebagai bukti ada itikad melaksanakan prinsip Keterbukaan yang telah dicantumkan dalam good governance.

------------------------------------

Penulis adalah dosen PNSD Kopertis Wilayah X dan ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: