>

BBM Premium Naik Oktan

BBM Premium Naik Oktan

JAKARTA -  Pemerintah diminta meningkatkan kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi baik itu bensin maupun solar jika harganya benar-benar naik menjadi Rp 6.500 perliter. Sekadar harga naik dinilai tindakan manipulatif dan ada unsur melanggar Undang Undang (UU) nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas).

Permintaan tersebut disampaikan atas nama Warga Negara Menggugat Harga (WNMH) BBM diwakili oleh koordinator tim Advokasi, Lukmanul Hakim, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), kemarin. \"Penetapan harga BBM Premium harus dihitung berdasarkan berapa real production cost (Harga Pokok Penjualan / HPP) dengan melandaskan biaya crude oil sesuai dengan mutu dan sumbernya apakah domestik atau impor,\" ungkapnya di PN Jakpus, kemarin.

Ditambah lagi dengan biaya pengolahan dan biaya overhead serta profit margin yang wajar atau biaya pokok impor produk BBM ditambah profit margin yang wajar. \"Tapi penetapan harga bensiun premium tidak boleh menggunakan acuan HPP BBM yang berbeda kualitas,\" kata Lukman.

Lukman menyindir jika memang pemerintah berniat mengabaikan situasi sosial ekonomi masyarakat dengan mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi itu menjadi Rp 6.500 perliter maka harus meningkatkan (upgrade) kualitas BBM-nya itu sendiri. \"Baik itu bensin premium maupun solarnya,\" terusnya.

Tujuannya untuk memenuhi syarat kebutuhan kendaraan bermotor yang diadopsi di Indonesia yaitu standar Euro 2 dan agar masyarakat mendapatkan produk yang sesuai dengan harga jual. \"Setelah (upgrade) itu baru kemudian melakukan penyesuaian harga sesuai HPP ditambah dengan margin keuntungan yang wajar. Istilahnya ada rupa ada harga,\" pikirnya.

Meningkatkan angka oktan (RON) bensin premium dari saat ini RON 88 juga menjadi tuntutan yang tidak terelakkan. Di negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara Eropa, menurutnya, sudah standar Euro 5 sehingga bahan bakarnya menyesuaikan. Di India juga sudah mengadopsi standar Euro 4 sejak 2010. \"Maka BBM yang dipasarkan di India sekarang sudah menyesuaikan standar Euro 4,\" paparnya.

Demikian juga di Indonesia semestinya sudah mengadopsi BBM untuk minimal standar Euro 2 yaitu Oktan 91 seperti dimiliki BBM Pertamax milik Pertamina. \"Di negara Asia rata-rata minimal menggunakan BBM RON 91,\" ucapnya.

Lukman menilai jika pemerintah meningkatkan harga BBM bersubsidi tanpa diiringi kenaikan kualitas maka telah melakukan tindakan manipulasi dan menzalimi warga negara. Atas dasar itu pihaknya melakukan gugatan ke PN Jakpus. Terlebih putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghilangkan pasal 28 ayat 2 dan 3 UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.

Pasal 28 ayat 2 dari UU itu menyatakan; Harga BBM dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Sedangkan pada ayat 3 berbunyi; Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggungjawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.

Pemerintah, menurutnya, boleh saja mengambil untung dari bisnis migas termasuk bensin Premium dan solar bersubsidi itu tetapi sebaiknya ditempuh dengan cara tidak melawan hukum. Misalnya menerapkan pajak emisi (emissions tax, carbon tax) atas komponen HPP selain dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak BBM yang telah diterapkan selama ini.

Lukman menegaskan pihaknya sepakat bahwa harga BBM memang harus ditetapkan secara rasional dan realistis namun jangan menggunakan acuan harga BBM di negara yang tidak memiliki sumber dan kilang minyak bumi. \"Sayang sekali penetapan harga di Indonesia mengabaikan posisi negara kita sebagai pemilik sumber crude oil (minyak mentah) dan kilang minyak sendiri,\" sesalnya.

Dia memaparkan rumusan struktur biaya BBM di Indonesia semestinya; Biaya pembelian minyak mentah (83,4 persen) ditambah biaya pengolahan (6 persen) ditambah biaya angkutan laut (5,8 persen) ditambah biaya distribusi (3 persen) ditambah biaya lainnya (1,8 persen).

Namun faktanya metode HPP itu tidak digunakan di Indonesia padahal dia menilai metode ini lebih adil selain bisa menopang daya saing industri, termasuk industri migas, dan transportasi di Indonesia. \"Di Indonesia sekarang justru penetapan harga BBMnya menggunakan metode Border Price mengacu pada penetapan harga eks kilang Singapura,\" ulasnya.

(gen)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: