Bunga Kredit Siap Melejit
JAKARTA - Pemilik kredit perbankan harus mulai waspada. Masa \"bulan madu\" kredit berbunga rendah berakhir sudah. Lonjakan inflasi disikapi secara agresif oleh Bank Indonesia (BI). Setelah Juni lalu menaikkan suku bunga acuan BI rate 25 basis poin, Juli ini bank sentral kembali mengerek BI rate sebesar 50 basis poin.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, BI rate dinaikkan dari level 6,0 persen menjadi 6,50 persen untuk memastikan inflasi yang meningkat pasca kenaikan harga BBM bersubsidi dapat segera reda. \"BI senantiasa mencermati dan merespons secara terukur tekanan inflasi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi,\" ujarnya setelah rapat Dewan Gubernur BI kemarin (11/7).
Menurut Agus, inflasi bulanan yang pada Juni lalu mencapai 1,03 persen masih akan berlanjut pada Juli ini. Selain faktor kenaikan harga BBM, kenaikan harga dipicu inflasi musiman periode Ramadan dan Lebaran. \"Juli ini akan mencapai puncaknya, lalu turun pada Agustus dan diharapkan kembali normal pada September,\" katanya.
Namun, inflasi bukan satu-satunya alasan BI mengerek BI rate. Dalam konsiderannya, rapat dewan gubernur juga mencermati kaburnya dana-dana asing atau capital reversal dari Indonesia. Di Indonesia selama Juni terjadi pelepasan penempatan pada surat berharga negara (SBN) dan saham oleh investor asing sebesar USD 4,1 miliar atau sekitar Rp 40 triliun. \"Ini menekan rupiah,\" ucapnya.
BI mencatat, nilai tukar rupiah pada triwulan II-2013 mengalami depresiasi atau melemah 2,09 persen bila dibandingkan dengan triwulan I-2013 menjadi Rp 9.925 per USD.
Untuk menyikapi berbagai kondisi tersebut, BI pun menyiapkan tiga jurus. Pertama, melanjutkan stabilisasi nilai tukar rupiah yang sesuai dengan kondisi fundamentalnya dan menjaga kecukupan likuiditas di pasar valas.
Kedua, menyempurnakan ketentuan loan to value ratio sektor properti terkait dengan kredit pemilikan rumah (KPR)/kredit pemilikan apartemen (KPA) untuk tipe-tipe tertentu. Ketiga, memperkuat langkah koordinasi dengan pemerintah dengan fokus meminimalkan tekanan inflasi serta memelihara stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
\"Kami yakin bauran kebijakan tersebut cukup memadai untuk mengendalikan tekanan inflasi, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan stabilitas sistem keuangan, agar momentum pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjaga dan bergerak ke arah yang lebih sehat,\" jelas Agus.
Bagaimana tanggapan pengamat ekonomi\" Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Indef Ahmad Erani Yustika mengatakan, langkah BI menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin ke level 6,5 persen merupakan langkah yang terlalu tergesa-gesa. \"Mestinya, kenaikan dilakukan secara bertahap,\" ujarnya.
Menurut Erani, langkah BI itu akan berimbas panjang. Salah satu yang akan bakal dirasakan masyarakat adalah kenaikan suku bunga kredit seperti KPR dan kredit kendaraan bermotor (KKB). \"Sebelum BI rate naik saja, bank sudah menaikkan bunga kredit. Apalagi sekarang BI rate naik, pasti akan disusul kenaikan bunga bank,\" katanya.
Senada dengan Erani, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengatakan, langkah BI menaikkan BI rate 50 basis poin merupakan strategi yang tepat untuk meredam inflasi. \"Tapi, saya kira terlalu berani,\" ucapnya.
Menurut Tony, BI rate pada level 6 persen memang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan realitas perekonomian di dalam negeri. Sebab, bank-bank sudah memberikan bunga deposito sekitar 7 persen, bahkan lebih. \"Kalau bunga deposito rendah, nasabah akan menarik dananya untuk membeli mata uang dolar Amerika Serikat. Ini akan memperlemah rupiah,\" jelasnya.
Tony menyebut kenaikan BI rate pasti akan diikuti kenaikan suku bunga oleh bank. Itu akan memperbesar risiko kenaikan kredit bermasalah (NPL) dan akan terjadi perlambatan pertumbuhan kredit serta pertumbuhan ekonomi. \"Risiko inilah yang harus dimitigasi BI maupun pemerintah,\" ujarnya.
Kalangan eksporter juga mengkhawatirkan ancaman kenaikan suku bunga. Menurut Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim Isdarmawan Asrikan, pengusaha makin terbebani oleh biaya tinggi seperti kenaikan UMR, kenaikan tarif listrik, sampai tarif pengangkutan gara-gara kenaikan harga BBM. Karena itu, eksporter ingin suku bunga dapat ditekan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: